Puisi Minggu Ini: Agus Sighro Budiono

waktu baca 3 menit
Agus Sighro Budiono (*)

JAKARTA-KEMPALAN: Melengkapi ulasan tentang tokoh kita minggu ini, Agus Sighro Budiono yang berdarah-darah dalam laku seninya, serta tak lelah-lelah berkesenian sastra dan teater itu. Maka kita muatkan beberapa karya puisi yang ditulisnya.

Agus Sighro Budiono – Bale Parawangsa

Adalah sesuatu yang terbentuk 

dari butiran debu tak terurus, kemudian 

menggumpal menjadi amarah namun 

tak hendak memberontak. 

Amarah dan ketidakpuasan itu terus 

menggeliat-geliat, menceracau, muncrat 

dan meledak menjadi berbait bait puisi, 

berbabak babak pertunjukan dan  

berbingkai bingkai sketsa dan lukisan.

Puncak atas segala kemarahan, adalah 

cinta. Di Bale Parawangsa ini kami 

mengekspresikan cinta walau 

dengan cara yang sederhana, di dalam 

ruang yang ringkih. 

Di dalam ruang ini, burung-burung bebas 

beterbangan tanpa cemas. Di sini tunggak 

tunggak jati terpancang dengan kokoh. 

Rumpun bambu tumbuh bertunas-tunas.

Engkau dan siapa saja boleh datang 

sebagai merpati hias, menebarkan pesona 

keanggunan. Kami akan mainkan 

simponi gemerisik daun-daun, menganyam

mahkota dari sarang laba-laba.

(Bojonegoro, 2023)

.

Agus Sighro Budiono – Wajah Kota

Di ujung senja, di atas trotoar yang tengah 

bersolek, kujumpa wajah kota bersemak 

berbelukar, berkarat dilindas aus jaman.

Di bumi angling darma katanya, tak ku jumpa 

ksatria perkasa seperti dalam cerita, hanya 

wajah-wajah ragu tercekat membisu tatkala 

penguasa sibuk berburu berebut  

dalam penobatan mengharu biru 

Penguasa sang pendamba wibawa yang selalu 

ingin didengar titahnya tak peduli sabdanya 

adalah bencana lahirkan berjuta derita. dari 

mulutnya mengalir dogma-dogma menyihir 

penjilat dan para anjing penjaga.

Di kerut wajah kota yang mulai menua    

pekerja seni menjadi pemimpi              

berkubang dalam syair syair nisbi        

diuntainya kata kata dalam ceruk batu 

dan lekang tanah gersang, lalu menyanyikannya 

di riuh pasar pasar mencoba bertransaksi 

dengan nasib dan keberuntungan.

Sedang sang budayawan hanyalah pencatat 

yang mengaku sebagai pemilik rahasia jaman, 

mengendap endap mencari kesempatan, 

tawarkan ide gagasan hingga karatan

Wajah kotaku adalah wajah yang selalu 

malih rupa tak tentu tak teraba

Di ujung senja 

sebuah pasar baru terlunta

wajah kota 

semakin bersemak 

semakin berbelukar

Dan aku hampir lupa 

ini kota siapa?

(Bojonegoro, 2023)

.

Agus Sighro Budiono – Di Terminal Bus Antarkota

Nada nada mengalun di sepanjang jalan berdebu

marka jalan serupa partitur menuntun laju 

mobil dan kendaraan lainya yang menjadi pemain 

orkestra dalam konser kehidupan

Seorang calo di terminal yang sepi 

menyambut calon penumpang bus dengan bahasa 

pramusaji yang manis

di depan peron, perempuan kecil menjajakan 

sebotol air mineral, kenek menyanyikan senandung 

lagu nama nama kota 

Di terminal bus antar kota

kenangan bersamamu menyembul bersama 

marka-marka jalan yang mengelupas 

ditimpa ban kendaraan.

Setelah perhelatan yang gegap gempita

sunyi menjadi semakin terasa

dikesiap deru angin selepas senja 

menerobos jendela bus yang sedikit terbuka.

kenangan bersamamu menempel 

bersama debu di kaca jendela.

(Blitar, 2023)

.

Aming Aminoedhin

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *