Puisi Minggu Ini: Agus Sighro Budiono
JAKARTA-KEMPALAN: Melengkapi ulasan tentang tokoh kita minggu ini, Agus Sighro Budiono yang berdarah-darah dalam laku seninya, serta tak lelah-lelah berkesenian sastra dan teater itu. Maka kita muatkan beberapa karya puisi yang ditulisnya.
Agus Sighro Budiono – Bale Parawangsa
Adalah sesuatu yang terbentuk
dari butiran debu tak terurus, kemudian
menggumpal menjadi amarah namun
tak hendak memberontak.
Amarah dan ketidakpuasan itu terus
menggeliat-geliat, menceracau, muncrat
dan meledak menjadi berbait bait puisi,
berbabak babak pertunjukan dan
berbingkai bingkai sketsa dan lukisan.
Puncak atas segala kemarahan, adalah
cinta. Di Bale Parawangsa ini kami
mengekspresikan cinta walau
dengan cara yang sederhana, di dalam
ruang yang ringkih.
Di dalam ruang ini, burung-burung bebas
beterbangan tanpa cemas. Di sini tunggak
tunggak jati terpancang dengan kokoh.
Rumpun bambu tumbuh bertunas-tunas.
Engkau dan siapa saja boleh datang
sebagai merpati hias, menebarkan pesona
keanggunan. Kami akan mainkan
simponi gemerisik daun-daun, menganyam
mahkota dari sarang laba-laba.
(Bojonegoro, 2023)
.
Agus Sighro Budiono – Wajah Kota
Di ujung senja, di atas trotoar yang tengah
bersolek, kujumpa wajah kota bersemak
berbelukar, berkarat dilindas aus jaman.
Di bumi angling darma katanya, tak ku jumpa
ksatria perkasa seperti dalam cerita, hanya
wajah-wajah ragu tercekat membisu tatkala
penguasa sibuk berburu berebut
dalam penobatan mengharu biru
Penguasa sang pendamba wibawa yang selalu
ingin didengar titahnya tak peduli sabdanya
adalah bencana lahirkan berjuta derita. dari
mulutnya mengalir dogma-dogma menyihir
penjilat dan para anjing penjaga.
Di kerut wajah kota yang mulai menua
pekerja seni menjadi pemimpi
berkubang dalam syair syair nisbi
diuntainya kata kata dalam ceruk batu
dan lekang tanah gersang, lalu menyanyikannya
di riuh pasar pasar mencoba bertransaksi
dengan nasib dan keberuntungan.
Sedang sang budayawan hanyalah pencatat
yang mengaku sebagai pemilik rahasia jaman,
mengendap endap mencari kesempatan,
tawarkan ide gagasan hingga karatan
Wajah kotaku adalah wajah yang selalu
malih rupa tak tentu tak teraba
Di ujung senja
sebuah pasar baru terlunta
wajah kota
semakin bersemak
semakin berbelukar
Dan aku hampir lupa
ini kota siapa?
(Bojonegoro, 2023)
.
Agus Sighro Budiono – Di Terminal Bus Antarkota
Nada nada mengalun di sepanjang jalan berdebu
marka jalan serupa partitur menuntun laju
mobil dan kendaraan lainya yang menjadi pemain
orkestra dalam konser kehidupan
Seorang calo di terminal yang sepi
menyambut calon penumpang bus dengan bahasa
pramusaji yang manis
di depan peron, perempuan kecil menjajakan
sebotol air mineral, kenek menyanyikan senandung
lagu nama nama kota
Di terminal bus antar kota
kenangan bersamamu menyembul bersama
marka-marka jalan yang mengelupas
ditimpa ban kendaraan.
Setelah perhelatan yang gegap gempita
sunyi menjadi semakin terasa
dikesiap deru angin selepas senja
menerobos jendela bus yang sedikit terbuka.
kenangan bersamamu menempel
bersama debu di kaca jendela.
(Blitar, 2023)
.
Aming Aminoedhin
