Mengembalikan Nama “Balai Pemuda” dengan Mengadakan Festival Seni

waktu baca 4 menit
Poster Festival Balai Pemuda 2023 (*)

KEMPALAN: Sekitar dua minggu lalu saya dijapri Moh Anis wartawan senior peraih tiga kali Anugerah Prapanca (simbol prestasi jurnalistik Jawa Timur) dan yang selama ini getol menyelenggarakan Pasar Seni Lukis Indonesia (PSLI) yang diselenggarakan di Jatim Expo yang melegenda itu. 

Kali ini japrian mantan anggota Lembaga Sensor Film tersebut agak lain. Biasanya  kalau mengirim pesan ke nomor WA saya isinya tentang seputar dunia  lukisan, atau tentang sosok pelukis yang saat itu sedang “in” dalam kancah percaturan seni rupa (misal, perupa Noor Ibrahim yang berpolemik dengan sejumlah pelukis di Jogja yang gagal berangkat ke Jerman; pelukis Mas Dibyo dari Tuban yang “berseteru” dengan pelukis Joni Ramlan  dari Mojokerto tentang bursa “lukisan murah” yang saat itu  diselenggarakan Joni di  ‘base camp’-nya). 

Nah, kali ini Anis yang pemimpin redaksi media online ‘Ngopi Bareng’ itu mengirim sesuatu yang sifatnya general, “holistik” — di seputar dunia kesenian,  bukan melulu seputar lukisan, atau paling tidak: seni rupa.

Materi yang dikirim ke nomor WA saya selembar poster yang komunikatif-estetik: Festival Balai Pemuda 2023. 

Festival ini melingkupi bursa lukisan & diskusi, gelar musik & diskusi, pentas tari & diskusi, dan gelar sastra & diskusi. 

Di akhir poin-poin konten poster tersebut diberi “disclaimer”:  Tanpa Diskusi Politik; Tahun Politik, kapan Tahun Kesenian? 

Kalau saya coba elaborasi “disclaimer” tersebut, Anis ingin menempatkan dunia kesenian dalam posisi lebih terhormat, untuk mengimbangi  panasnya Tahun Politik menuju pilpres dan pileg yang tinggal 5 bulan ini. 

Ketika poster saya baca dan saya menangkap bagian dari tajuk, tertera nama ‘Balai Pemuda’ — saya, seperti digiring Anis memasuki lorong waktu menembus masa lalu.

Adalah tahun 1995, di Balai Pemuda pernah diselenggarakan festival seni yang bernama Parade Seni WR Soepratman yang berlangsung selama sebulan dengan menampilkan seluruh cabang kesenian. 

Event kesenian yang dipelopori budayawan dan salah satu tokoh Kota Surabaya yaitu Cak Kadaruslan ini, merupakan embrio dari Festival Seni Surabaya (FSS) yang rata-rata setiap tahun diselenggarakan di beberapa venue di kota Surabaya dengan pusat venue di kompleks Balai Pemuda yang sejak kurang lebih 3 tahun ini nama ‘Balai Pemuda’ direduksi menjadi: Alun-Alun Surabaya.

FSS yang lebih kurang terselenggara selama 15 kali itu, antara lain kepanitiaannya selain diketuai oleh Cak Kadar, juga pernah dijabat oleh Sandiantoro, Sabrot. D. Malioboro, Cak Kandar  (pelukis), A Basuki Babussalam, dan Anis. 

Saya sendiri pernah menjadi “ketua” pada tahun 2000, tapi dalam sistem sub-ordinasi Cak Kadar sebagai Ketua Yayasan Seni Surabaya dengan istilah Direktur Pelaksana, bukan dengan sebutan Ketua Umum sebagaimana sebelum-sebelumnya.

Dari sekian nama-nama yang pernah menjabat Ketua Umum FSS –tanpa mengecilkan yang lain– Anis-lah yang saya anggap paling moncer dalam sistem pengorganisasian : sederhana, efektif, militan  —  menampilkan seniman-seniman berbobot. Anis tandem dengan Arif Afandi yang kalau tidak salah waktu itu Arif sebagai pemimpin redaksi Jawa Pos atau pemred JTV. 

Dua tahun tandem Arif Afandi  (Ketua Steering Committee) – Moh. Anis (Ketua Organizing Committee) mengelola FSS, yakni kalau tidak salah pada 2003 dan 2004.

Dan yang bikin saya kagum, tahun 2004 kepanitiaan FSS berhasil menghadirkan Presiden Megawati di gedung utama Balai Pemuda untuk nonton pagelaran wayang suket Slamet Gundono dengan lakon Gongseng Drupadi. Pertunjukan bukan wayang kulit oleh seniman nyentrik dari Kota Solo ini adalah bagian dari materi FSS saat itu,  persisnya berlangsung pada 8 Juni 2004.

Dari dialog lanjutan saya dengan Anis di WA tiga hari lalu, ternyata tujuan Sanggar Merah Putih pimpinan jurnalis idealis ini menyelenggarakan Festival Balai Pemuda  bukan semata-mata menyindir Tahun Politik yang menjadikan “toxic” bagi followers para Bacapres dengan saling hujat, tapi juga untuk mengimbangi nama ‘Alun-Alun Surabaya’ yang sejak 3 tahun terakhir telah “mengeliminasi” nama ‘Balai Pemuda’. 

“Ini FSS kecil-kecilan, Pak Amang,” japri Anis. “Untuk ngimbangi (nama) Alun-Alun Surabaya.”

Bagi banyak kalangan, nama ‘Alun-Alun Surabaya’ dianggap a-historis. Dan upaya Anis dkk dengan menyelenggarakan Festival Balai Pemuda 2023 pada 6-15 Oktober mendatang adalah untuk mengembalikan nama ‘Balai Pemuda’. 

Bagi Anis –menurut saya– bukan perkara sulit untuk menyelenggarakan Festival Balai Pemuda 2023 yang berlangsung di Galeri Merah Putih dan di sebagian halaman Alun-Alun Surabaya di kompleks Balai Pemuda yang dulu di zaman penjajahan Belanda namanya De Simpangsche SociĆ«teit itu. 

Pengalaman Anis 2 kali sebagai ketua umum FSS dan lebih dari 12 kali menyelenggarakan PSLI adalah modal kuat untuk penyelenggaraan itu. 

Mari kita dukung, kawan! ()

Oleh: Amang Mawardi (Penulis Buku, Jurnalis Senior)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *