Tutur Mata Leo Arief Budiman, Karya Fotografi Penyandang Disabilitas
KEMPALAN: Saya mengenal sosok ini sekitar 15-20 tahun lalu di kompleks Balai Pemuda (Balpem) Surabaya. Sebagai sekretaris umum Dewan Kesenian Surabaya (DKS) periode 1999-2004, menggiring saya untuk hampir setiap hari hadir di sekretariat DKS yang letaknya di belakang masjid Assakinah di kompleks Balpem bagian utara.
Selain ruang sekretariat DKS, di dekat situ juga terdapat sekretariat komunitas seni Bengkel Muda Surabaya (BMS). Oleh banyak kalangan, kompleks Balpem sering disebut sebagai markas para seniman. Selain DKS dan BMS, di kompleks itu terdapat juga ‘base camp’ Teater Api, posisinya di bagian timur. Belakangan hadir juga di situ Sanggar Merah Putih yang lebih banyak berkiprah di lingkup seni lukis.
Saat itu, sosok ini yang saya kesankan pendiam, berwajah mirip aktor Dwi Sasono, sering muncul di sekitar DKS. Kadang saya temui duduk di pinggiran masjid. Dari ‘gesture’ yang saya tangkap, ia berada di situ seperti sedang menunggu seseorang. Oleh sebab itu sosok ini saya kategorikan sebagai “orang luar”.
“Orang luar” dalam persepsi saya adalah orang-orang yang berada di luar orbit kesenian Balpem. Karena sekitar 5 meter dari kantor DKS adalah pujasera kecil-kecilan (ada 4 warung di situ) tentu banyak juga orang luar yang njajan, mengudap, baik untuk makan siang atau sarapan: karyawan Balpem, salesman, juga para kru penyewa gedung utama Balpem dari berbagai kalangan — untuk keperluan nikahan, rapat-rapat, atau reuni sekolah.
Dari info sana-sini, akhirnya saya ketahui bahwa sosok ini adalah seorang perajin batik. Ia punya usaha Gemati Batik. Pada akhirnya tidak begitu mengherankan saya, lantaran sosok berambut gondrong ikal tersebut berasal dari Pekalongan yang selama ini juga dikenal sebagai salah satu Kota Batik di Indonesia.
Lama-lama saya melihat sosok ini sering mencangklong tustel yang boleh dibilang di atas standar, bukan tustel biasa-biasa seperti saya punya. Namun, posisi hariannya masih seperti biasa, duduk di emperan masjid Assakinah dengan sesekali mengutak-atik tustel yang dibawanya itu, dengan ‘outfit’: berkaos oblong gelap, bercelana batik, bersandal kulit.
Selain sosok ini, ada satu lagi “orang luar” yang pada akhirnya saya panggil Pak Muhsin. Beliau usianya (saat itu) sekitar 60-an tahun. Saya, 50-an. Pak Muhsin setiap hari dipastikan hadir di seputar kantor DKS (kecuali hari libur), lantaran beliau punya tugas jemput istri yang karyawati BUMN Gas Negara yang kantornya sepelemparan batu dari Balpem.
Beliau dulu adalah karyawan PTP (BUMN perkebunan), saat itu mengelola 2 toko pakaian muslim di Royal Plaza.
Pada akhirnya saya ketahui bahwa Pak Muhsin akrab dengan sosok ini, dan sering memanggil dengan: Leo! Kendati sama-sama berpenampilan kalem, Pak Muhsin lebih terlihat ‘talkative’ dibanding Leo yang saya taksir mungkin baru 35 tahun usia.
Dua tahun lalu saya dihubungi sutradara teater Zainuri yang pernah saya ‘podcast’ untuk ‘channel’ saya di youtube. “Pak, coba sampeyan hubungi Leo. Dia layak kalau diwawancarai. Leo saat ini akrab dengan anak-anak jalanan. Dia ngajari fotografi,” ujar Pak Nuri.
Cekak aos, dari wawancara sepanjang 20 menit, saya baru tahu kalau saat itu Leo yang hampir setiap hari muncul di Balpem dengan bawaan tustelnya itu, bergaul dengan banyak wartawan yang sering “ngepos” di Balpem untuk liputan event kesenian. Dari situ Leo belajar fotografi.
Dalam kurun waktu 15-20 terakhir, kemahiran Leo dalam keterampilan fotografi saya nilai luar biasa. Foto-fotonya tidak saja bernilai jurnalistik tinggi, tetapi estetikanya pun ciamik pol! Dari ber-podcast dengan saya, Leo yang mula-mula mengajar batik di Liponsos (Lingkungan Pondok Sosial) Disabilitas Kalijudan di bawah Dinas Sosial Pemkot Surabaya ini, lantas berkembang dengan Kelas Fotografi.
Dari narasi yang diceritakan Leo, saya mempersepsikan kenapa anak-anak disabilitas tuna rungu-wicara dan ‘down syndrome’ (mongoloid/wajahnya seragam, mirip bangsa Mongol) itu, lebih condong ke keterampilan fotografi dibanding membatik — mungkin, dikarenakan faktor gabungan teknologi dan penampakan hasil gambar yang realitas itu, “membius” mereka dalam penjelajahan mengasyikkan. Tentu, Leo yang sabar dan telaten faktor nomor satu!
Dari 50-an anak penghuni Liponsos Kalijudan, 70% tidak tahu dari mana asal usul mereka. Ketika “digaruk” Satpol PP dari tahapan waktu di berbagai tempat, petugas tidak bisa menangkap bahasa isyarat mereka. Mungkin, faktor “intelektualitas” dari mereka yang kebanyakan tidak pernah sekolah (di SLB) menjadikan mereka anak-anak yang nir-literasi.
Dari situ saya mencoba memahami, sejak masih balita mereka terbuang atau boleh jadi –maaf– dibuang oleh orangtua mereka yang miskin ekonomi dalam tahapan proses yang panjang dan njelimet. Dalam hati Leo bertekad, ‘saya ingin mengangkat mereka, menjadi insan-insan sejajar, sederajat’. “Mereka punya hak yang sama, pak,” kata Leo kalem tapi tegas.
Hasilnya, potretan-potretan mereka bagus-bagus. Bahkan Kiking dan Mukidi (panggilan akrab Septian) lolos untuk ikut kompetisi lomba foto internasional di Jerman yang diikuti 21 anak dari berbagai belahan dunia. Hanya Kiking dan Mukidi yang berkebutuhan khusus.
Dan pada akhirnya sudah lebih dari 4 kali anak-anak disabilitas asuhan Leo itu berpameran bersama. Bahkan 5 anak-anak berkebutuhan khusus itu (1 di antaranya penyandang ‘down syndrome’) pernah melakukan pelatihan fotografi bagi sekitar 25 anak-anak dan remaja dengan fisik normal.
Seminggu lalu saya di-WA Achmad Zainuri sutradara teater salah satu peraih Anugerah Seniman Berprestasi dari Gubernur Jawa Timur tahun 2012. “Pak Amang, Leo dan anak buahnya Jumat (28 Juli 2023) bedah buku ‘Tutur Mata’ di basement (Alun-alun Suroboyo). Kalau ga repot, monggo hadir.”
Lantas, sehari sebelum acara dimulai, Leo mengirim poster acara itu ke nomor WA saya. (Ya, poster. Tanpa disertai kalimat basa-basi. Saya paham watak Leo yang pendiam). Dalam kondisi habis sakit, saya nyoba nekat nyetir ke Balpem yang jarak dari rumah sekitar 15 kilometer. Busyet, sebelum perempatan Jalan Pucang Anom, arus lalin dibelokkan ke kiri ke Jalan Kalibokor, lantaran perbaikan gorong-gorong. Saya mbatin, ‘mbok kalau melakukan perbaikan fasum malam hari. Gini ini kan bikin repot banyak orang…’
Kendaraan ternyata tidak berjalan merayap, tapi jalan-mandeg-jalan-mandeg. Kaki kiri saya akhirnya njarem bukan main. Bahkan saya sempat berpikir, semoga tidak berdampak bagi saluran kemih lantaran prostat saya 2,5 bulan lalu dioperasi.
Hasilnya? Saya telat. Bedah buku “Tutur Mata” dan ‘opening’ pameran foto sudah selesai. Para disabilitas peserta pameran tampak bergantian diajak foto-foto oleh anak-anak, para remaja dan ibu-ibu.
Saya melihat dari jarak 5 meter Leo dikerubuti para wartawan. Saya lihat juga Hanif Nashrullah sobat saya yang jurnalis kantor Berita ‘Antara’ gantian melakukan wawancara khusus. Sementara Zainuri saya lihat asyik ngobrol dengan Susan Vivier yang Direktur Institut Perancis Indonesia di Surabaya.
Leo Arief Budiman, Anda memang jempol !
Amang Mawardi (Penulis, Jurnalis Senior)