Bincang sastra Jawa, “Jaran Tunggangan” Buku Anyar Raja Gurit
KEMPALAN: Secara hitungan masyarakat di Jawa Timur ini diperkirakan ada sekitar 60 hingga mungkin sampai 75% yang menggunakan bahasa Jawa dalam pergaulan kesehariannya.
Namun, demikian tidak banyak yang mau membaca, apalagi menulis di majalah berbahasa Jawa. Meski sebenarnya, hingga kini kedua majalah berbahasa Jawa itu masih bertahan terbit di kota Surabaya, yaitu Panjebar Semangat dan Jaya Baya.
Mungkin ironis, tapi jangan menangis. Tetaplah untuk terus menulis sastra berbahasa Jawa. Hitungan-hitungan penulis sastra Jawa dari Jawa Timur, juga banyak jumlahnya.
Sekadar mengingat saja beberapa nama seperti: Suripan Sadi Hutomo, Suparto Brata, Esmiet, Satim Ka-darjono, Poerwadi Atmodihardjo, St. Iesmaniasita, Djajus Pete, Basuki Rachmad, Surharmono Kasijun, Tamsir AS, Tiwiek SA, Yunani, Sunarko Sodrun Budiman, Es. Danar Pangeran, Su-mono Sandyasmara, Bonari Nabonenar, Budi Palopo, Keliek Eswe, Widodo Basuki, Aming Aminoedhin, W. Haryanto, Tjahjono Widarmanto, Herry Lamongan, dan banyak lagi.
Beberapa penulis muda sastra berbahasa Jawa, dulu memang cukup banyak. Tapi kini tak lagi mau menulis lagi. Entah mengapa? Tak jelas kabarnya? Mungkin beralih menulis sastra Indonesia atau mungkin kerja lain hingga menyita waktu tak mau menulis sastra Jawa lagi. Atau barangkali masih menulis, tapi tak dipublikasikan? Entahlah?
Jika saja bisa menyebut nama beberapa orang yang dulu sering menulis, dan kini tak lagi tampak tulisan sastra Jawanya: Es Danar Pangeran, W. Haryanto, Bonari Nabonenar, Keliek Eswe, dan Budi Palopo. Sementara itu yang masih bertahan ada nama: Sunarko Sodrun Budi-man, Tjahjono Widarmanto, Herry Lamongan, Aming Aminoedhin, Suharmono Kasijun, dan Widodo Basuki.
Nama yang saya sebut terakhir ini bahkan seringkali menerbitkan buku-buku puisi, dan guritan; baik yang ditulis bersama komunitas atau sendirian. Terakhir, Widodo Basuki, yang punya predikat Raja Gurit ini menerbitkan kumpulan guritan “Jaran Tunggangan” (2023). Ampuh temenan!
Kumpulan geguritan Jaran Tunggangan menurut Widodo adalah kumpulan guritan kesekian kali yang pernah ditulisnya sendiri. Meski sebenarnya banyak guritan miliknya termuat di berbagai kumpulan guritan bersama di PPSJS (Paguyuban Pengarang Sastra Jawa Surabaya), seperti: Mlesat Bareng Ukara, Othak-Athik Gathuk, Gurit Bandha Donya, Guritan Wah, dan banyak lagi.
Menurut Widodo Basuki (WB) kumpulan geguritan ini berisi 87 judul guritan, yang mana merupakan kesaksian sang penggurit tentang zaman sekarang ini. Di mana manusia banyak orang yang telah kehilangan kemanusiaannya. Bahkan banyak pula manusia yang memburu ambisinya, dengan mengorbankan orang lain.
Guritan yang bicara hal itu juga tergambar dalam gurit Jaran Tunggangan yang dijadikan judul bukunya.
Kita coba simak:
//aku mung tungganganmu/tansah siyaga nglantarake/menyang gegayuhan kang kok tuju/murih kowe lega/bisa klakon nyekel pecut panguawasa/nanging yen dadi temenan/apa mengko kowe bakal eling karo raiku?// aku mung tunggangan/mung dimar ceplik/rakyat cilik, gampang ela-elu/ora ngerti kang sinamudana/ing njero atimu/kokenggokake kanggo maregi nafsumu/apaiklasing batin berjuang satuhu/gumantung nawaitu/kang kom lebokake ing sak klambimu//aku mung tungganganmu/ kang manut lising kendhali/saka nafas, luh, lan kringetkusing tansah nedhanrima/marang kang kok tuju/marang ubeng ingere keblatmu/apa kupingmu krung?//Sukolegok, 29/12/22.
Secara harafiah singkat guritan bercerita bahwa orang kecil (wong cilik, rakyat) hanya dijadikan kendaraan untuk seseorang lain (wakil rakyat, penguasa, pejabat) untuk dapatkan jabatan penguasa. Tapi biasanya lupa setelah dapatkan jabatan, bahkan tak tak lagi dengar keluhan rakyat jelata yang telah memilihnya. Artinya, rakyat hanyalah jadi kendaraan sang pejabat. Sangat ironis sekali.
Pada guritan-guritan lainnya termuat pula bertema religius, meski yang dituliskan hal sangat sederhana. Namun membuat kesadaran baru bagi pembacanya atas adanya Tuhan Yang Maha Esa. Guritan-guritan itu berjudul: Sore, Ing Dhipan Tuwa, Pitakon Kaping 55, Pepujiku, Pitakon Saben Dina, Gelang Karet, Leladi Marang Urip, dan banyak lagi.
Sebelum terbit buku ini WB telah menerbitkan kumpulan guritan: Ajisaka Angejawa (2020), Layang Saka Paran (1999) yang mengantarkan ia jadi peraih Hadiah Rancage, Medhitasi Alang-Alang (2004), Bun-Bun Tumetes (2010) dan Bocah Cilik Diuber Srengenge (2011).
WB kelahiran Trenggalek, 18 Juli 1967 ini, Pamong Redaktur Majalah Jaya Baya di Surabaya. Lulusan sarjana seni rupa dari Universitas Adi Buana Surabaya, dan juga STKW Surabaya ini, malah intens bergelut menekuni sastra Jawa. Bahkan sampul buku dan ilustrasi yang ada dalam buku Jaran Tunggangan ini juga dilukis sendiri oleh pengguritnya, Widodo Basuki.
Buku ini akan dibincang-sastrakan di Café Bakso Dandang – Perum Taman Pinang, Sidoarjo, 29 Juli 2023; dengan pemantiknya: Aming Aminoedhin, bersama Widodo Basuki sebagai penulis bukunya. Moderatornya akan dipandu: Kris Maryono, ketua Warumas.
Kumpulan geguritan ini memang perlu untuk dibaca kalangan orang Jawa, khususnya para guru Basa Jawa, guna menambah wawasan tentang kehidupan yang kini kian jumpalitan ini. Selamat atas terbitnya buku baru berbahasa Jawa, semoga bisa menumbuhkembangkan sastra Jawa di Jawa Timur khususnya, Indonesia pada umumnya.
** (Aming Aminoedhin).