Petisi 100 dan Pemakzulan Jokowi

KEMPALAN: Salah satu gerakan oposisi paling fenomenal di era Orde Baru Soeharto adalah gerakan ‘’Petisi 50’’. Ada puluhan tokoh nasional yang menandatangani petisi dan meminta pertanggungjawaban Soeharto di depan MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat). Di antara para petisioner itu ada nama-nama besar seperti A.H Nasution, Mohammad Natsir, dan beberapa nama lain.
Petisi 50 lahir karena keprihatinan terhadap arah pemerintahan Soeharto yang dianggap semakin melenceng. Petisi itu dikeluarkan pada 5 Mei 1980. Ketika itu Soeharto sudah berkuasa tiga periode atau sekitar 15 tahun. Soeharto sudah melakukan konsolidasi kekuasaan dan menempatkan sekutu-sekutu politiknya dari kalangan militer pada posisi-posisi kunci.
Selama 15 tahun berkuasa Soeharto sudah berhasil menekan oposisi sampai di posisi marjinal. PKI (Partai Komunis Indonesia) sudah dihabisi melalui pembunuhan masal dengan mamakai kekuatan TNi dan umat Islam sepanjang 1966-1967. Tokoh-tokoh PKI ditangkap, dipenjarakan, atau dibunuh tanpa pengadilan. Perburuan terhadap sisa-sisa PKI dilakukan secara masif dan sistematis. PKI dinyatakan sebagai partai terlarang dan rakyat terus-menerus diingatkan akan bahaya laten PKI.
Musuh politik potensial berikutnya bagi Soeharto adalah Islam politik. Partai-partai politik berideologi Islam, terutama Masyumi, ingin bangkit kembali tetapi tidak diizinkan oleh Soeharto. Semasa kekuasaan Orde Lama di bawah Sukarno, Partai Masyumi menjadi penentang utama demokrasi terpimpin yang diprakarsai oleh Sukarno. Masyumi juga menentang penggabungan nasionalisme, agama, dan komunisme menjadi nasakom. Karena sikap oposisi inilah Sukarno kemudian membubarkan Masyumi. Tokoh-tokoh Masyumi dipersekusi dan dibui.
Setelah Sukarno digulingkan oleh Soeharto melalui kudeta militer terselubung, tokoh-tokoh Masyumi melihat ada peluang untuk bangkit dari kubur. Tapi, Soeharto mencium bahaya sejak dini. Masyumi yang independen dan kritis akan menjadi ancaman bagi kekuasaan Soeharto.
Upaya menghidupkan kembali Masyumi ditolak oleh Soeharto. Bahkan, Soeharto melangkah lebih jauh dengan menggabungkan parta-partai Isla ke dalam satu partai fusi. Partai-partai Islam digabung menjadi satu dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Partai-partai nasionalis dan Kristen digabung menjadi satu dalam Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Soeharto menciptakan kendaraan politik baru yang dinamakan Golongan Karya atau Golkar.
Partai-partai politik dianggap sebagai biang kerok keributan. Karena itu harus ditertibkan. Kehidupan partai dikontrol dengan ketat dan tidak ada politisi yang bisa menjadi ketua partai tanpa restu Soeharto. PPP dan PDI dipimpin oleh orang-orang yang loyal kepada Soeharto. Pemilu menjadi ajang demokrasi prosedural yang sudah didesain degan cermat. Dengan demikian Golkar bisa menang mudah dan mutlak dalam setiap pemilu.
Soeharto melakukan konsolidasi ideologi dengan membuat tafsir Pancasila untuk kepentingan politiknya sendiri. Soeharto memperkenalkan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) atau Eka Prasetya Pancakarsa sebagai pedoman politik dan ideologi Orde Baru.
Soeharto memonopoli Pancasila dan menjadikannya sebagai perisai untuk menghadapi lawan-lawan politiknya. Bung Karno memperkenalkan demokrasi terpimpin yang membawanya menjadi presiden yang otoriter. Soeharto mengulangi hal yang sama dengan memperkenalkan konsep ‘’Demokrasi Pancasila’’ yang dalam praktiknya tidak ada demokrasi sama sekali.
Soeharto memakai Golkar dan ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) sebagai pendukung utama kekuasaannya. Dua institusi itu dijadikan sebagai pengawal utama Pancasila versi Soeharto. Pancasila menjadi senjata yang dibuat sakral oleh Soeharto. Tidak ada seorang pun yang boleh mengritik Pancasila.
Kekecewaan terhadap Soeharto semakin menggumpal dan memuncak. DPR sebagai wakil rakyat tidak berfungsi optimal. Oposisi dalam berbagai bentuknya diberangus secara kejam. Media massa sebagai pilar demokrasi diawasi dengan ketat.
Di tengah situasi yang mencekam ini 50 tokoh masyarakat mengeluarkan petisi yang diserahkan kepada DPR dan MPR. Isinya meminta supaya Soeharto mempertanggungjawabkan kebijakan politiknya di lembaga perwakilan rakyat itu. Alih-alih mengadili Soeharto, DPR-MPR loyo dan tidak berdaya di depan Soeharto.
Banyak pimpinan Masyumi yang menjadi petisioner. Selain M. Natsir ada Kasman Singodemedjo, Burhanudin Harahap, dan Sjafrudin Prawiranegara. Tokoh politik Islam lain yang menjadi petisioner adalah Anwar Harjono dan A.M Fatwa. Dari kalangan nasionalis ada S.K Trimurti dan Manai Sophiaan. Dari kalangan militer dan polisi ada Ali Sadikin dan Hugeng Iman Santoso.
Para petisioner itu kemudian diburu dan dipersekusi oleh Soeharto. Mereka dianggap sebagai dissident karena mengritik Soeharto. Siapa saja yang mengritik Soeharto berarti mengritik Pancasila. Risikonya, mereka dikucilkan dan jalur ekonomi mereka diputus. Para petisioner itu dicekal tidak diperbolehkan bepergian ke luar negeri.
Pada era itu Petisi 50 adalah gerakan politik oposisi paling besar yang pernah ada. Kendati demikian, Soeharto bisa memberangusnya dengan cepat dan efektif, sehingga gerakan itu layu sebelum berkembang untuk kemudian mati.
Sekarang, lebih dari 40 tahun berselang gerakan petisi muncul lagi. Kali ini jumlah petisionernya naik dua kali lipat menjadi 100 orang. Mereka datang dari latar belakang yang bermacam-macam. Di antara mereka ada 11 jenderal purnawirawan dan 1 orang kolonel. Di antara jenderal high profile yang menjadi petisioner adalah Jenderal Purn Tyasno Sudarto yang pernah menjadi kepala staf Angkatan Darat.
Ada juga para politisi senior dan aktivis yang selama ini sudah dikenal di lingkar gerakan oposisi seperti Amien Rais, M. Hatta Taliwang, Syahganda Nainggolan, Sri Edi Swasono, Mudrick Sangidu. Ada juga ulama dan kalangan akademisi seperti Prof. Widi A. Pratikto dan Prof. Daniel M. Rosyid, keduanya dari ITS (Institut Teknologi 10 Nopember, Surabaya).
Tuntutan mereka jelas dan tegas, yaitu mendesak DPR dan MPR menggelar sidang umum untuk memakzulkan Presiden Joko Widodo. Dalam naskah petisi yang disebut sebagai ‘’Petisi 100 Penegak Daulat Rakyat’’ terdapat 5 poin utama yang menjadi dasar untuk melengserkan Jokowi. Kondisi saat ini terlihat mirip dalam beberapa hal dengan kondisi ketika Petisi 50 muncul.
Yang pertama, Jokowi dianggap tidak bisa menjalankan amanatnya sebagai presiden, karena tidak mengabdi kepada kepentingan rakyat dan lebih banyak mengabdi kepada kepentingan oligarki. Kedua, dalam melaksanakan tugasnya Jokowi lebih banyak berpolitik dan memakai hukum sebagai senjata untuk memberangus oposisi.
Selanjutnya, pembangunan ekonomi dianggap gagal, pembangunan proyek investasi dianggap sebagai pemborosan dan rakyat makin miskin sedangkan oligarki makin kaya raya. Keempat, Jokowi bertanggung jawab terhadap pelanggaran HAM berat, seperti tewasnya ratusan petugas pemilu dan pembunuhan Kilometer 50. Jokowi juga dianggap memihak PKI dalam kasus pembunuhan pada 1965.
Jokowi dianggap mencampuri proses politik dengan cawe-cawe menentukan calon presiden dan wakilnya. Alasan-alasan ini sudah cukup bagi petisioner untuk mendesak DPR-MPR supaya memakzulkan Jokowi.
Petisi 50 berakhir dengan hampa dan para petisioner menjadi pariah politik. Masih akan dilihat apakah Petisi 100 akan bernasib sama, atau bernasib lebih baik dan berhasil memakzulkan Jokowi. Kita tunggu. ()
