Wajah Pendidikan dan Keguruan di Tanah Air
SURABAYA-KEMPALAN: Sekitar 9 tahun lalu, saya diamanahi mengajar mata kuliah ‘Ilmu Pendidikan Islam’ di suatu Sekolah Tinggi Agama Islam. Seluruh mahasiswa yang saya ajar berlatar belakang pesantren.
Sebagian dari mereka ada yang menjadi guru ngaji di Taman Pendidikan Quran (TPQ) dan sisanya menjadi guru Madrasah Diniyah di pesantren. Saya melihat aura ikhlas mengajar di wajah mereka.
Saya tanyai apa yang membuat mereka ingin menjadi guru dan betah mengajar? Jawabannya bisa ditebak, antara mengamalkan ilmu dan mencari barokah.
Model jawaban mereka mengingatkan saya akan petuah Monica Balubun, seorang pensiunan guru, “Menjadi guru tak boleh didasari niat untuk sekedar mengisi lowongan.”
Nah 9 tahun telah berlalu, pastinya sebagian dari mereka tetap menjalani pilihan hidupnya sebagai guru TPQ dan guru Madin.
Saya berasumsi, ada pula beberapa dari mereka yang lolos menjadi guru berstatus aparatur sipil negara (ASN) di bawah naungan Kementerian Agama.
Akan tetapi, saat ini status guru aparatur sipil beralih rupa menjadi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) alias P3K.
Saya ingin membagikan kisah yang berhasil lolos menjadi ASN di Madrasah tsanawiyah. Tak disebutkan di Madrasah Negeri di kota mana. Yang jelas masih di lingkup Jawa timur.
Pekan pertama penempatan di madrasahnya, ia dibebani 25 jam mengajar mata pelajaran yang sesuai dengan formasi yang ia lamar. Tak hanya itu, ia dibebani pula 6 jam bahasa Indonesia.
Yang jadi persoalan adalah bahasa Indonesia, jelas di luar kompetensinya. Lalu ia curhat bahwa di madrasahnya sebetulnya membutuhkan guru bahasa Arab dan Pendidikan Kewarganegaraan (PKn).
Oleh karena itu, saya menduga pemerintah asal menempatkan guru. Tidak berdasar kebutuhan di lapangan.
Beralih ke guru berstatus PPPK. Guru model ini juga menjalani tes seleksi mulai seleksi kompetensi dasar hingga seleksi kompetensi bidang seperti guru ASN.
Yang membedakan adalah guru PPPK durasi kontraknya tergantung kebijakan masing-masing pemerintah kota atau kabupaten.
Durasi kontraknya beragam, mulai setahun, dua tahun hingga lima tahun. Selanjutnya jika purna tugas tak mendapat tunjangan pensiun. Saya merasakan sistem PPPK ini bisa disebut ala outsourcing.
Belum lagi kabar miring yang beredar bahwa seleksi PPPK selalu memperlakukan secara istimewa bagi guru honorer yang lama mengabdi.
Contoh, si Fulan menjalani seleksi kompetensi bidang (SKB) di suatu sekolah negeri. Ia bukan guru honorer di sana.
Sementara pesaing utamanya dua guru honorer yang lama mengabdi di sana. Hasilnya bisa ditebak siapa yang bakal lolos.
Beginilah wajah keguruan di Tanah Air. Para menteri dan kepala dinas terkait harus menyelesaikan masalah-masalah yang saya sebut.
Masalah tak berhenti di ranah keguruan. Tetapi bisa dijumpai di sistem pendidikan tanah air.
Tahun 2015, kolega saya bercerita nilai bahasa Inggris putrinya saat sekolah di SD negara Australia mendapat nilai outstanding atau 100.
Tetapi saat duduk di kelas satu SMP di Aceh nilainya malah turun menjadi 90. Penyebab menurunnya belum diketahui. Seharusnya di Australia yang dapat rendah, bukan di tanah air sendiri.
Saya pun bertanya-tanya apakah guru dan pelajaran di Indonesia yang susah atau masalahnya ada di anak tersebut? Saya bilang padanya fenomena yang dialami putrinya bisa dijadikan bahan penelitian kualitatif untuk mahasiswa S1 Prodi Pendidikan Bahasa Inggris.
Perlu juga saya membagikan kisah bagaimana ibu Maudy Ayunda (aktris muda di film Sang Pemimpi, sekuel Laskar pelangi). Sang ibu berani memindahkan Maudy dari sekolah berkurikulum nasional ke sekolah swasta yang belum terkenal.
Bermula dari rasa kecewa dengan yang gurunya ajarkan di kelas. Maudy dan teman-temannya yang kala itu kelas 2 SD diminta untuk menghafal nama-nama kecamatan dan materi lain yang kurang tepat.
Singkat cerita sang mama memindahkan Maudy ke sekolah baru yang satu kelasnya hanya diisi 9 murid.
Kesan yang ia dapat, proses belajar menyenangkan, murid-muridnya sangat santun, komunikasi dua arah dan walau bukan sekolah Islam. Terlihat beberapa murid muslim shalat bersama guru agama di sekolah tersebut.
Sebetulnya kasus yang dialami ibu Maudy cerminan rendahnya pembelajaran di tanah air. Sekalipun sejak kurikulum 1994 berganti-ganti nama mulia pakai istilah KTSP, K-13 hingga Kurikulum Merdeka sekalipun, pembelajaran di kelas monoton.
Murid-murid pasti dijejali dengan banyak mata pelajaran yang mencapai lebih dari 14 mata pelajaran. Lalu menjalani ujian pelajaran model multiple choice bahkan buku LKS.
Belum lagi harus memenuhi Kriteria ketuntasan minimal (KKM). Sebagian orang tua menyuruh sang anak ikut bimbingan belajar (bimbel) atau les privat demi menggapai KKM.
Keberadaan bimbel juga menjadi indikasi ketidakberesan sistem pendidikan di tanah air. Buat apa sekolah full day, tetapi sepulang dari sekolah masih ikut bimbel lagi?
Jangan-jangan di sekolah tak mendapat pemahaman apapun dari gurunya. Dan guru bimbel inilah obat mujarabnya.
Jujur saya akui, guru bimbel inilah yang membuat saya atau ribuan murid di tanah air memahami isi pelajaran terutama mata pelajaran sulit seperti bahasa Inggris, Matematika dan Fisika.
Terima kasih banyak kepada Orang tua yang membiayai saya ikut bimbel di sore hari.
Sebelum mengakhiri tulisan ini, pemerintah perlu menyederhanakan kurikulum. Mata pelajaran sedikit saja sesuai kebutuhan murid-murid.
Kalau perlu durasi kegiatan belajar mengajar tak perlu sampai 6 jam lebih. Sudah bukan zamannya lagi murid-murid diperlakukan bagai seperti buruh pabrik yang berangkat pagi pulang sore.
Di Finlandia pembelajarannya hanya lima jam sehari. Itu pun model pembelajarannya 45 menit mengajar: 15 menit waktu istirahat untuk murid-muridnya.
Dampak pembelajaran singkat begini bisa digunakan guru-guru untuk melakukan pengembangan diri secara profesional.
Kapankah pendidikan di tanah air bisa seperti itu? Wallahu’alam.
(*) Fadh Ahmad Arifan, guru Sejarah Kebudayaan Islam di Malang