Zidane, Nahel, dan Kerusuhan Prancis

waktu baca 5 menit
Kendaraan yang terbakar selama bentrokan antara pengunjuk rasa dan polisi setelah kematian Nahel, yang dibunuh oleh polisi Prancis, di Nanterre, pinggiran Paris, Prancis, Rabu (28/6/2023). (Reuters)

KEMPALAN: Prancis membara. Eropa memanas. Penyebabnya adalah pembunuhan oleh polisi Prancis terhadap remaja berusia 17 tahun yang diidentifikasi namanya sebagai Nahel M. Nama belakanganya tidak disebut dengan lengkap. Tetapi disebutkan bahwa Nahel ialah imigran keturunan Aljazair.

Anda pasti mengenal Zinadine Zidane. Pahlawan sepak bola Prancis itu juga keturunan Aljazair. Namanya sangat harum. Sampai sekarang ia dihormati dan diseganai sebagai salah satu talenta terbaik sepak bola Prancis. Ia membawa Prancis menjadi kampiun Eropa dan juara dunia. Zidane menjadi satu-satunya pelatih yang bisa memenangkan Piala Champions tiga kali berturut-turut.

Tetapi, jangan lupa, sepak bola Prancis dikejutkan dengan penahanan pelatih Paris Saint Germain (PSG) Christophe Galtier oleh polisi karena tuduhan rasisme terhadap Islam. Galtier bersama anak kandungnya Valovic Galtier ditahan polisi karena dugaan berbuat rasisme kepada pemain muslim saat masih jadi arsitek OGC Nice.

Penahanan itu sebagai bagian dari penyelidikan atas tuduhan diskriminasi di tempat kerja, berdasarkan dugaan ras atau agama selama melatih Nice. Galtier dan Valovic ditahan selama 24 jam. Setelah itu penyelidikan polisi bisa membebaskan Galtier dan putranya atau membawa keduanya ke pengadilan untuk diputuskan hukuman yang diberikan.

Penyelidikan ini merupakan lanjutan dari proses hukum atas mencuatnya email dari Direktur Sepak Bola Nice Julien Fournier pada 11 April. Dalam email itu Fournier menuduh Galtier membuat pernyataan rasis dan Islamofobia saat jadi pelatih Nice musim 2021/2022.

Ketika itu Galtier mengeluhkan komposisi skuad Nice yang berisi banyak pemain kulit hitam dan Muslim. Galtier juga meminta para pemainnya tidak menjalankan ibadah puasa selama Ramadhan. Kasus ini bisa mengakhiri karir Christophe Galtier di PSG. Prestasinya dianggap tidak menonjol karena gagal membawa PSG yang bertabur bintang Berjaya di Eropa.

Sementara itu di Swedia lagi-lagi terjadi pembakaran terhadap mushaf Alquran. Aksi ini memicu protes luas dari seluruh dunia Islam karena pemerintah Swedia memberi izin aksi tersebut. Ini bukan kali pertama terjadi pembakaran Alquran di Swedia. Politisi sayap kanan Swedia Rasmus Paludan sudah berkali-kali melakukannya, dan masih tetap lolos dari hukuman dan bebas melakukan aksi yang sama.

Aksi pembakaran Alquran memicu protes keras. Aksi pembunuhan terhadap Nahel di Prancis juga menyulut demokstrasi besar-besaran. Prancis disebut sebagai sumbu demokrasi dunia. Eropa mengklaim diri sebagai pusat demokrasi dunia. Tetapi, rangkaian kejadian seminggu terakhir ini menunjukkan persoalan rasisme dan Islamophobia yang serius di Eropa.

Kerusuhan besar yang dipicu penembakan Nahel terus meluas di kota-kota besar Prancis Nahel M tengah mengemudikan mobil di Nanterre ketika dihentikan polisi. Ia menolak berhenti. Mercedes AMG yang dikendarainya melintas di jalur busway. Dua petugas polisi mengejar mobil tersebut di tengah kemacetan lalu lintas. Ketika mobil itu berhasil lolos, salah satu petugas menembak dari jarak dekat melalui jendela pengemudi. Nahel meninggal akibat tembakan yang menembus dadanya.

Insiden ini memicu keluhan lama tentang kekerasan polisi dan rasisme sistemik di di daerah pinggiran kota yang berpendapatan rendah dan bercampur dengan ras lain yang mengelilingi kota-kota besar di Prancis.

Kematian Nahel dengan cepat memicu gelombang protes yang diwarnai kekerasan di seantero negeri. Polisi menahan 667 orang. Juru bicara polisi juga mengonfirmasi bahwa 200 petugas terluka. Para pengunjuk rasa mendirikan barikade, menyalakan api, dan menembakkan kembang api ke arah polisi yang merespons mereka dengan gas air mata dan meriam air di jalan-jalan di Prancis.

Di sejumlah titik di Paris, sekelompok orang melemparkan petasan ke arah pasukan keamanan. Kantor polisi di 12 distrik kota diserang, sementara sejumlah toko di sepanjang Jalan Rivoli, dekat Museum Louvre dan di Forum des Halles, pusat perbelanjaan terbesar di ibu Prancis, dijarah. Otoritas Marseille mengabarkan bahwa mereka berusaha membubarkan kelompok yang melakukan kekerasan di pusat kota. Sekitar 40.000 petugas polisi telah dikerahkan untuk memadamkan

Nahel adalah seorang anak tunggal yang dibesarkan oleh ibunya. Dia bekerja sebagai supir untuk jasa pengiriman makanan dan dia juga bermain dalam liga rugby. Sebagaimana anak remaja imigran seusianya, pendidikannya kacau. Dia terdaftar di sebuah perguruan tinggi di Suresnes, tidak jauh dari tempat tinggalnya, untuk menjadi ahli kelistrikan.

Mereka yang mengenalnya mengatakan dia sangat dicintai di Nanterre, tempat dia tinggal bersama ibunya, Mounia, dan tampaknya tidak pernah mengenal ayahnya.

Nahel suka membolos. Catatan kehadirannya di perguruan tinggi buruk. Dia tidak memiliki catatan kriminal, tetapi dia dikenal oleh polisi karena sering menyetir secara ugal-ugalan.

Tetangga mengatakan, Nahel menyayangi ibunya sebagai orang tua tunggal dan selalu mencium ibunya sebelum dia pergi bekerja, ditambah kata-kata “Aku mencintaimu, Bu”.

Selasa pagi (27/06) menjadi harinya yang terakhir. Ibunya mendengar kabar Nahel ditembak oleh polisi karena melanggar aturan lalu lintas. Anakku melanggar aturan lalu lintas, tapi bukan berarti Anda diizinkan untuk membunuhnya. Begitu tangis histeris ibunya.

Kampanye anti rasisme di Eropa dilakukan dengan gencar, tapi sikap rasis masih sangat luas di kalangan masyarakat dan penegak hukum. Pada Mei 2020 lelaki kulit George Floyd dibunuh oleh polisi di Amerika Serikat dan memicu demonstrasi ‘’Black Lives Matter’’ di Amerika dan Eropa.

Kampanye anti-rasisme dilakukan secara luas, termasuk melalui sepak bola sebagai olahraga paling digemari di Eropa. Para pemain profesional Eropa berlutut di lapangan sebelum pertandingan sebagai tanda solidaritas. Tidak semua orang setuju dengan kampanye itu. Kampanye itu juga tampaknya tidak terlalu sukses.

Kasus Nahel adalah contoh terbaru dari kronisnya penyakit rasisme di Eropa. ()

BACA LAINNYA

0

Bakar 1.500 T

Kempalan News
0

Malapetaka Morowali

Dhimam Abror Djuraid
0

Charles Martel

Kempalan News
0

Revolusi Prancis

Kempalan News
0

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *