Anomali CWLS: Menakar SWR004 (3)

waktu baca 5 menit
Dr. Khairunnisa Musari, Dosen Tetap Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam (FEBI) & Pascasarjana UIN Kiai Haji Achmad Siddiq; Sekretaris 1 DPW Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia (IAEI) Jawa Timur.

KEMPALAN: Tahun ini, pemerintah kembali akan menerbitkan CWLS ritel seri SWR004. Semula, masa penawaran direncanakan pada 5 Mei 2023 hingga 22 Juni 2023. Rencana ini mundur. Instrumen investasi wakaf uang SWR004 diagendakan akan ditawarkan setelah Hari Raya Idul Adha.

Belajar dari pengalaman tiga penerbitan seri sebelumnya, tentu perlu penguatan dan pengembangan strategi dalam mempromosikan dan memasarkan pada masyarakat. Strategi lama yang efektif, tentu dapat dilanjutkan sembari berupaya menciptakan strategi baru yang kreatif dan inovatif.

Kreatif dan inovatif adalah dua hal berbeda. Fokus utama yang menjadi pembedanya. Pada  proses kreatif, fokus utamanya adalah menghasilkan ide, daya cipta, sesuatu yang berbeda. Sedangkan inovasi berfokus pada pembaruan, penciptaan sesuatu yang baru, membuat perubahan.

Lalu, menjelang penerbitan SWR004, bagaimana peluang dan tantangannya? Bagaimana caranya meningkatkan jumlah investor CWLS? Saya setidaknya mencatat tiga hal yang saling terkait untuk menjawab pertanyaan tersebut dalam menakar CWLS ke depan.

Pertama, penguatan pasar.

Stakeholder sukuk, khususnyaCWLS, sejatinya adalah available market yang secara fundamental memiliki tingkat literasi yang lebih baik daripada masyarakat secara umum. Namun, anomali pada jumlah wakifyang berpartisipasi dalam investasi CWLS mengindikasikan belum optimalnya available market ini sehingga membutuhkan penguatan.

Saat merespon sebuah pertanyaan “Why would you consider it as anomaly?” yang mengemuka pada media sosial terhadap tulisan seri sebelumnya yang berjudul “Anomali CWLS: Investasi Wakaf Uang VS Tiket Coldplay dan Blackpink (1)”, saya menjawab,

 “….. There are several points of view that made me take the term. Among other things, this CWLS was designed by a number of state institutions and involved a number of parties in managing the funds and activities. This means that there are quite a number of stakeholders and think tanks in the central government. However, in the regions, the stakeholders and think tanks did not participate. Even though they are the driving force of this instrument… Then, after 2 years, it is assumed that there will be an increase in the number of waqifs along with intensive outreach and education to the public. But apparently, there was no increase in the number of waqif…”.

Wujud dari penguatan pasar dapat beragam. Misalnya, perguruan tinggi yang pernah, sedang atau akan menerima dana sukuk untuk pembangunan gedung dan infrastruktur kampus disyaratkan untuk menjadi motor penggerak sosialisasi, edukasi, dan literasi CWLS kepada civitas akademika dan masyarakat di kabupaten/kotanya. Sinergi bersama stakeholder dapat dilakukan, bahkan bila perlu menjadi program bersama dari pusat hingga daerah. Indikator keberhasilan terukur dari jumlah investor wakif di daerah tersebut yang merepresentasikan sedikitnya unsur dari available market.

Kedua, pengembangan strategi sosialisasi, edukasi, dan literasi.

Untuk penguatan pasar, internal para otoritas yang menjadi think tank dan semua lembaga terkait, termasuk para penerima bantuan sukuk seperti perguruan tinggi, seyogyanya tetap perlu mendapatkan asupan sosialisasi, edukasi, dan literasi CWLS hingga ke daerah.

Untuk pengembangan pasar, kegiatan sosialisasi, edukasi, dan literasi CWLS menjadi keniscayaan untuk diberikan pada target pasar baru, termasuk dengan strategi baru menyesuaikan karakter pasar. Seperti halnya Generasi Baby Boomers, Generasi X, Y, dan Z yang memiliki karakteristiknya masing-masing.

Saat sebuah pertanyaan kembali mengemuka dari orang yang sama dan pada media sosial yang sama, “Is ‘people preference to spend money on entertainments rather than CWLS’ considered as anomaly? Or something else?”, saya menjawab,

“…..in my opinion, could be yes, could be no. Depending on the analytical knife used. Depending on where we stand. Depending on the point of view we use. That’s a debatable area. What I convey is a phenomenon in society. Preference for entertainment is a phenomenon that needs to be explored further through research. And for me, that preference can be a direction for developing CWLS’s marketing strategy in the future. That’s one of the suggestions that will be conveyed in my next article.”

Ya, fenomena sebagian masyarakat yang memiliki preferensi terhadap entertainment adalah fakta yang tidak bisa diingkari. Teori tentang Consumer Preference and Behavior atau Behavioral Economics tentu dapat menjadi pisau analisis untuk mempelajari fenomena ini.

Dari perspektif keuangan syariah, biaya yang dibelanjakan untuk membeli tiket Coldplay dan Blackpink merupakan opportunity cost. Namun, fenomena ini juga mengindikasikan adanya peluang pasar. Strategi baru dapat dirancang ke depan untuk mengemas sosialisasi, edukasi, dan literasi CWLS dengan melibatkan pelaku dan industri kreatif untuk masuk pada kelompok masyarakat dengan preferensi ini.

Ketiga, pengembangan skema public borrowing.

CWLS adalahmodel pembiayaan yang kreatif dan inovatifyang memberi peluang manfaat eksponensial kepada banyak pihak. Instrumen ini dapat terus dikembangkan untuk menjawab berbagai tantangan pembangunan. Skema harus dirancang untuk tidak sekedar memenuhi prinsip syariah dan dapat membantu negara membiayai kebutuhan fiskal. Tetapi, skema tersebut juga harus tidak menciptakan utang baru yang membebani negara ke depan.

Gagasan-gagasan tentang: Blue Sukuk terkait sektor perikanan, kelautan, dan kemaritiman; White Sukuk terkait sektor telekomunikasi, penyiaran, dan transportasi udara; kemudian Yellow Sukuk terkait sektor pertanian dan perkebunan; hingga Catastrophe Sukuk, Diaspora Sukuk, dan varian lainnya dapat menjadi bahan kajian pengembangan CWLS ke depan. Termasuk yang sudah eksis hari ini, seperti Green Sukuk dan Hajj Fund Sukuk, dapat dikembangkan.

Demikian pula dengan akad dan mekanismenya. Kajian dan praktek venture waqf, securities crowdfunding, waqf crowdfunding, hingga public private partnership (PPP), bahkan konsep esham atau yang hari ini diidentikkan sebagai perpetual sukuk, dapat diadopsi atau diperkuat untuk proyek-proyek CWLS tertentu.

Ya, keterlibatan publik untuk membantu membiayai pembangunan dan kebutuhan fiskal lainnya adalah hal logis. Pemerintah tentu saja tidak bisa berjalan sendiri dalam menjawab tantangan yang ada. Seluruh stakeholder pembangunan, seyogyanya harus memiliki andil dalam menjawab tantangan tersebut. Terlebih insan ekonomi dan keuangan syariah dalam mendukung pengarusutamaan ekonomi dan keuangan syariah dalam pembangunan.

Wallahua’lam bish showab.

Khairunnisa Musari, Dosen Tetap Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam (FEBI) & Pascasarjana UIN Kiai Haji Achmad Siddiq; Sekretaris 1 DPW Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia (IAEI) Jawa Timur

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *