Perempuan Terakhir

waktu baca 6 menit
Ilustrasi perempuan (*)

KEMPALAN: Sore itu, ketika matahari terjungkal, laki-laki itu terkapar di selangkangan waktu. Sangkakala dari kulit kerang raksasa, dengan nada baritone yang parau, terdengar berembus. Perang sementara harus istirahat. Para prajurit kembali ke kemah masing-masing dengan langkah terseret. Panah dan tombak digeret, menyisakan jejak garis-garis memanjang di punggung pasir.

Akar-akar langit terbakar, sebagian lagi gosong oleh asap yang bergumpalan. Laki-laki itu menatapnya dengan mata bolong. Sementara para prajurit menggelimpang dengan kaki berselonjoran hingga tampak keluar dari balik tenda. Istri-istri yang setia membersihkan luka. Sebagian lagi memijiti para suami dengan muka rasa cuka. Terdengar erangan dari luka-luka yang terbasuh.

“Mengapa kau tak segera masuk, suamiku?” tanya Ratri.
“Waktu belum paripurna," jawab Gigar, tak bergerak.
“Matahari sudah tenggelam.”
“Orang-orang yang mengkhianati kejantanan akan mencuri di ketiak waktu.”
“Kau harus beristirahat. Para prajurit yang lain sudah mulai mendengkur.”

Ratri mendekat ke hadapan sang suami. Dada yang telanjang itu dijamahnya pelan-pelan. Liat dan mengkilat. Keringat yang telah mongering membuat kulit laki-laki itu seperti matang oleh gorengan matahari. Otot-otot dan urat nadinya tampak tumbuh seperti akar yang menjalar di sepanjang tangan. Beberapa saat tak ada suara. Perempuan itu menempelkan pipinya di dada sang suami.

“Mari kuantarkan beristirahat.”

Dengan langkah pelan mereka masuk ke tenda. Gigar merebahkan tubuhnya pada tempat yang telah tertata. Sang istri membantunya dengan lembut. Dilepaskannya tali-tali alas kaki yang melingkar di sekitar tungkai. Kepenatan terasa menumpuk.

“Berbaringlah  dengan tenang. Jangan terburu tidur.”

Perempuan itu menyeka sekujur tubuh suaminya dengan kain basah. Luka-luka kecil dibersihkannya dari debu dan butir-butir pasir. Gigar memejamkan matanya dengan kendur. Dengan mulut terbuka Gigar melepaskan nafas. Udara kotor dan segala kepenatan ingin digiringnya keluar tubuh. Sedang Ratri meneruskan dengan memijat tubuh suaminya.

Udara sudah mulai mengangkut hawa dingin. Menerobos lewat celah-celah perkemahan. Di kejauhan, terdengar deru angin mulai melemah. Para perempuan mendekap tubuh-tubuh sang suami yang tak lagi bergerak. Kepenatan dan rasa kantuk telah berkelindan.

“Kau harus makan dan minum dahulu. Semua telah kusiapkan. Gigar tak berkata apa-apa. Matanya masih memejam dan dengus nafasnya sudah mulai teratur."

“Aku ingin tenagamu pulih kembali. Malam ini aku menginginkannya.” Mendengar kalimat sang istri, mata Gigar dibuka pelan-pelan. Dipandangnya wajah sang istri dengan mata redup.

“Kau menginginkannya?” Gigar  menegaskan. 

Ratri mengangguk dengan perlahan. Kedua pandangan itu bertemu. Tapi tak lama, mata laki-laki itu mengendur, lalu memejam kembali ddengan perlahan. Seperti hari-hari yang telah lewat. Untuk yang kesekian kalinya, ini pun sebuah isyarat bahwa tenaga laki-laki itu tak memungkinkan lagi.

Malam telah membalut perkemahan. Suara dengkur para laki-laki bersahutan, terdengar serak, serta sebagian mengorok menyerupai bunyi gergaji yang parau. Para istri terlihat gelisah, sebagian duduk tercenung di samping para suami. Di tempat yang agak jauh dari cahaya lampu, istri-istri terlihat memeluk tubuh sang suami yang tampak beku.

“Dari malam ke malam, kami para istri menderita kehampaan luar biasa. Suami kami kehabisan tenaga. Sementara kepundan birahi kami menanti diletupkan. Tak sanggupkah kau, hai para suami, menyisakan tenaga untuk kami?”

Perang memang telah berlangsung berlarut-larut. Para lelaki, karena panggilan darmanya sebagai ksatria, harus turun ke medan laga dari matahari terbit hingga terbenam. Para istri, dari waktu ke waktu, harus rela melepaskan para suami dengan hati kecut dan menanti kepulangan mereka dengan rasa cemas mengkerut.

“Aku menginginkannya.” kata Ratri lirih di telinga sang suami. Gigar tampak sudah lama tertidur. Untuk kesekian kalinya, dalam hari-hari yang panjang, keinginan itu kandas tanpa jawaban.

Sebuah dinasti yang menghujam telah jatuh. Tapi melepaskan sulur-sulur dan jaringannya yang selama ini diuntungkan ternyata tak mudah. Mereka yang sakit hati ini, dengan kekayaan yang telah dikeruk selama berkuasa dan membayar orang-orang untuk dijadikan bidak, lantas menggumpal dan menyatakan perang dengan dinasti baru. Para hulubalang yang setia pada dinasti lama, menyamar dan menyulut kerusuhan di berbagai sudut. Bumi tempat darah dan ketuban tumpah, yang dulu dihuni bersama, akhirnya jadi terbelah. Obor telah disulut, terompet telah ditiup, dan genderang perang telah ditabuh sebagai pertaruhan. Para lelaki akhirnya terseret ke medan laga.

Burung-burung dares melintas-lintas di langit laga. Kesatria demi kesatria telah gugur dijemput oleh kubur-kubur. Mereka yang usai melaksanakan darmanya, dipapah minggir dan dikebumikan dengan diiringi tangis terurai para istri dan anak-anak.

Malam semakin larut. Udara dingin menerobos ke tenda perkemahan. Di luar, sesosok tubuh berkelebat di kegelapan, mengendap-endap mendekati perkemahan. Jangkrik dan gangsir berderik. Sementara di langit bunyi burung bence terdengar melengking.

Terdengar dengus nafas mengalir. Dinding tenda terlihat bergerak pelan, seperti ada yang menyingkap dari luar. Ratri menatapnya. Dan tak lama setelah itu dia melihat tangan yang kekar merambat masuk. Ada isyarat pada jari-jarinya. Ratri menggigit bibir bawahnya. Dia melihat ke arah suaminya, sudah benar-benar pulas. Perempuan itu lantas menebar pandangan ke seluruh ruang. Sunyi merata.

Tangan yang kekar itu ternyata telah menggenggam pergelangan Ratri. Perempuan itu dengan cepat dibetot keluar dari tenda. Membelah malam yang senyap. Sunyi telah menggulungnya hingga larut. Di langit, suara burung bence terdengar makin melengking-lengking. Ada meteor melesat dari gugusannya, lalu habis digeser atmosfer bumi.

“Hai para suami, kami adalah istri-istri yang terlalu lama menahan magma birahi. Kawah-kawah kami selalu membasah. Dinding-dinding kami bergetaran merindukan lubang. Kami inginkan kau menancapkannya hingga lahar mengalir di pusar-pusar kami. Tak adakah  waktu, hai para suami, buat menyentuh kami?”

Malam belum paripurna. Keheningan memuncak hingga ke langit. Tiba-tiba ada bunyi mendebam-debam di bumi terpijak. Makin keras dan keras. Seperti gelombang, kekuatan berlipat tiba-tiba menghantam tenda-tenda. Api pun sekonyong-konyong menyala di mana-mana, berlesatan dari segala mata angin. Meluncur deras tanpa penghalang.

Perkemahan telah dikepung dengan pasukan api. Si jago merah, pada bumbung-bumbung minyak bersumbu, dilemparkan dari segala arah. Tenda-tenda tersulut dengan serentak. Api mengganas memakan semua sasaran. Para penghuninya, dengan kesadaran yang belum terbangun penuh, berusaha melepaskan diri dari kepungan. Tapi, panah-panah api kembali menancap dan menyorongnya masuk.

Teriakan-teriakan menyayat berlengkingan, amat keras, dan sebagian lain terdengar makin melemah seperti lampu kehabisan minyak. tubuh-tubuh terbakar yang tadinya tampak berlarian, lama-lama menjadi oleng dan roboh di tengah-tengah. Satu per satu para penghuni perkemahan itu menemukan ajalnya.

Malam ini, dalam waktu sekejap, perkemahan itu ludes, teriakan-teriakan habis. Tak tersisa. Pasukan yang mengepungnya surut dan meninggalkan tempat itu dengan serentak. Mereka bersorak-sorai merayakan kemenangan. Lagu-lagu mars dikumandangkan sambil menderap-derap. Mereka semakin surut ke arah barat. Jarak makin tercipta. Derap terdengar makin jauh dan jauh. Akhirnya hanya terdengar sayup-sayup, lalu lenyap.

Fajar mulai membara di selangkangan cakrawala. Kokok ayam pun terdengar di kejauhan sana. Perkemahan telah rata dengan tanah, dan tinggal asap mengepul dari sisa-sisa bara. Seorang perempuan tiba-tiba dating dengan jeritan penuh. Dia adalah Ratri.

“Suamiku!”
“Suamiku!”
“Suamikuuuu!”

Ratri berlarian menitari asap-asap yang muram. Jeritan-jeritannya tiada tersambut. Gelung rambutnya terurai dan kain yang dikenakan terseret di tanah. Terasa ada yang menyodok-nyodok dadanya. Dengan langkah oleng, dia menghampiri tubuh-tubuh yang gosong. Tak ada yang mampu dikenalinya. Asad-jasad itu hanya berupa onggokan orang. Suara perempuan itu terdengar parau, makin melemah dan melemah. Perempuan itu kehabisan segalanya. Langkahnya makin oleng. Pandangannya baur. Dan pada akhirnya, ratri pun roboh terbalut asap.

Beberapa saat lagi, burung-burung gagak beterbangan mengitari langit.

(Cerpen Karya M. Shoim Anwar)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *