Anomali CWLS: Investasi Wakaf Uang VS Tiket Coldplay dan Blackpink (1)

waktu baca 7 menit

KEMPALAN: Ketika mengetahui tingginya minat pembeli tiket Coldplay yang akan pentas di Indonesia pada 15 November mendatang, tentu saya terperangah. Dalam waktu 15 menit, tiket Coldplay termahal seharga Rp11 juta telah sold out. Juga, dalam waktu 28 menit, hampir seluruh kategori tiket lainnya dengan kisaran harga Rp800 ribu hingga Rp5,7 juta telah full booked.

Konser Coldplay diprediksi akan menghadirkan lebih dari 77 ribu penonton. Jumlah ini melampaui jumlah penonton konser Blackpink waktu lalu yang berhasil mendatangkan sebanyak 70 ribu orang. Jumlah yang sangat fantastis. Jika saja animo ini juga terjadi pada masyarakat Indonesia untuk berpartisipasi menjadi investor instrumen cash waqf linked sukuk (CWLS) yang harga ritel terendahnya ‘hanya’ sebesar Rp1 juta.

CWLS sederhananya adalah investasi wakaf uang pada surat berharga negara (SBN) yang imbalannya disalurkan kepada nazir sebagai pengelola dana dan kegiatan wakafuntuk membiayai program sosial dan pemberdayaan ekonomi masyarakat. CWLS didesain agar setiap orang dapat berderma bagi sesama, kemudian bantuannya itu dikembalikan oleh negara setelah 2 tahun.

Yang membuat CWLS ini layak untuk menjadi instrumen investasi pilihan adalah keuntungannya yang bersifat eksponensial dan bernilai pahala. Selain dana investasi akan kembali pada investor, imbalan keuntungan yang didermakan untuk program sosial dan ekonomi masyarakat akan menjadi wakaf bagi investor. Inilah amal jariyah yang keuntungannya akan terus mengalir kepada investor meski telah tiada.

Pemerintah Indonesia telah tiga kali menerbitkan CWLS yang dapat dibeli secara pribadi. Namun, jumlah investornya belum mampu menyaingi jumlah penonton Coldplay, bahkan Blackpink sekalipun. Akumulasi jumlah investor CWLS selama tiga kali penerbitan tidak lebih dari tiga persen jumlah penonton konser Coldplay, bahkan Blackpink sekalipun.

Jumlah investor CWLS berseri SWR003 sebanyak 688 wakif, yang terdiri dari 687 wakif individu dan 1 wakif institusi. Jumlah investor SWR002 sebanyak 591 wakif, yang terdiri dari 588 wakif individu dan 3 wakif institusi. Kemudian, SWR001 sebanyak 1.041 wakif, yang terdiri dari 1.037 wakif individu dan 4 wakif institusi.

Pertanyaan yang kemudian mengemuka adalah, mengapa jumlah investor CWLS hanya sedemikian?

Inklusi CWLS

Pada 6 November 2020, saya mungkin salah satu, atau bisa jadi satu-satunya investor CWLS SWR001 di Kabupaten Jember. Masa penawaran SWR001 akan berakhir pada hari Kamis, 12 November 2020. Artinya, hanya tersisa empat hari kerja efektif dari masa penawaran karena 6 November 2020 itu jatuh pada hari Jumat.

Pada hari tersebut, saya menjadi salah satu pembicara dalam Virtual Talkshow Regional Jawa dan Sumatera dalam rangka Edukasi dan Sosialisasi CWLS Ritel Seri SWR001 yang dihelat oleh Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan Republik Indonesia (Kemenkeu RI) bekerja sama dengan Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia (IAEI).

Agar dapat membawakan sesuatu yang ‘berbeda’, saya kemudian memilih judul presentasi “Berinvestasi CWLS Ritel: Belajar dari Jember”. Betapa tidak, saya direncanakan bersanding dengan pemateri lainnya yang merupakan Direktur Pembiayaan Syariah DJPPR Kemenkeu RI, Wakil Ketua Badan Pelaksana Badan Wakaf Indonesia (BWI), dan Anggota Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI). Tanpa harus ada saya, semua materi CWLS telah selesai pada ketiga pemateri tersebut.

Dalam rangka kepentingan menjadi pembicara itulah, saya kemudian melakukan semacam riset kecil untuk mengetahui seberapa banyak jumlah investor CWLS di Kabupaten Jember. Tentu, dengan mempertimbangkan adanya Kantor Perwakilan Bank Indonesia (KPwBI), Kantor Otoritas Jasa Keuangan (KOJK), Kementerian Agama (Kemenag), BWI, bahkan ada tiga perguruan tinggi yang memiliki Program Studi (Prodi) Ekonomi Syariah/Ekonomi Islam, malah ada Prodi Manajemen Zakat dan Wakaf (Mazawa), juga terdapat sejumlah lembaga yang berada di bawah naungan Kemenkeu RI, saya percaya diri akan memperoleh data yang dapat merepresentasikan semua stakeholder CWLS.

Pada 6 November 2020, menjelang habisnya masa penawaran yang tersisa empat hari, saya memperoleh data jumlah pembeli CWLS di Kabupaten Jember. Sehari sebelumnya, saya mengajukan permintaan data pembeli CWLS kepada para mitra distributor (Midis) yang berasal dari bank-bank syariah. Ada empat Midis CWLS SWR001 yang ditunjuk oleh Kemenkeu RI dan keempatnya adalah bank syariah yang semuanya telah memiliki kantor cabang di Kabupaten Jember.

Salah satu Midis yang telah go public, menyatakan tidak ada pembeli CWLS hingga 6 November 2020. Midis berikutnya yang dikenal sebagai bank syariah pertama di Indonesia, menyatakan senada, tidak ada pembeli CWLS. Midis lainnya yang saat itu merupakan bank syariah dengan aset terbesar di Indonesia, sehari sebelumnya menyatakan, “Ada, lumayan banyak”. Tapi, angka pasti yang dijanjikan akan diberikan kepada saya pada 6 November 2020, tidak saya terima. Pesan saya tidak ada satu pun yang dibalas lagi. Jika memang ada, berapa angka pastinya, itu saja yang ingin saya ketahui.

Daaan… Midis terakhir, yang juga menjadi Midis tempat saya membeli SWR001, saya tidak menanyakan kembali. Sebab, pada 4 November, ketika saya ada keperluan pada bank tersebut, saya telah menanyakan. Per 4 November, sejak dibukanya masa penawaran CWLS pada 9 Oktober, hanya ada satu pembeli CWLS. Yaitu… saya!

Jadi… bisa jadi, setidaknya hingga empat hari ditutupnya masa penawaran CWLS SWR001, saya satu-satunya pembeli instrumen ini di Kabupaten Jember. Bangga? Tentu tidak! Karena informasi yang terhimpun ini adalah data yang menyedihkan. Jika benar saya adalah satu-satunya pembeli CWLS, maka itu artinya… tidak ada orang-orang yang berasal dari unsur KPwBI, KOJK, Kemenag, BWI, perguruan tinggi, bahkan Kemenkeu sekalipun di Kabupaten Jember yang membeli instrumen ini!

Artinya juga… tidak ada orang-orang atau afiliasi lembaga dari unsur organisasi masyarakat (ormas) yang menjadi pemilik lembaga amil zakat infak dan sedekah (LAZIS) yang ditunjuk sebagai nazir yang ikut menjadi pembeli CWLS. Padahal dua ormas besar tersebut ada di Kabupaten Jember. Dua ormas ini tidak hanya besar secara nasional, tetapi juga besar di Kabupaten Jember.

Pertanyaan yang mengemuka berikutnya adalah, mengapa tidak ada unsur stakeholder CWLS di Kabupaten Jember yang membeli instrumen ini? Bahkan, unsur dari lembaga yang menjadi think tank sekaligus konseptor dari CWLS, juga mengapa tidak ada yang membeli?

Tentu butuh riset lebih jauh untuk bisa menjawab kedua pertanyaan tersebut. Namun, setidaknya fakta yang bisa diungkap dari riset kecil pada 2020 lalu tersebut mengungkap rendahnya inklusi CWLS di Kabupaten Jember. Penyebabnya bisa beragam. Bisa jadi karena sosialidasi dan edukasi terkait CWLS tidak sampai ke daerah, bisa jadi memang literasi yang rendah terkait CWLS pada stakeholder di daerah, atau bisa jadi memang minimnya stakeholder awareness di daerah. Maklum, saat itu masih penerbitan perdana.

Namun… pemakluman itu juga nyatanya terpatahkan oleh fakta lain.

Setahun lalu, 16 Juni 2022. Saat itu adalah masa penawaran CWLS ritel dengan seri terbaru yang diterbitkan pemerintah, yaitu SWR003. Durasi masa penawaran SWR003 cukup panjang, sekitar tiga bulan, dari 11 April 2022 hingga 7 Juli 2022.

Saat saya membeli SWR003, saat itu sudah memasuki bulan ke-3 atau periode terakhir dari masa penawaran. Saya membeli SWR003 pada Midis hasil merger tiga bank syariah. Berbekal riset kecil pada 2020, saya kembali menanyakan kepada pegawai yang sama yang melayani saya pada tahun 2020 yang kini dengan jabatannya sudah merambah sejumlah kabupaten, tidak lagi hanya Kabupaten Jember.

Pertanyaan yang saya kemukakan senada dengan pertanyaan saya pada tahun 2020. Dan yang mengejutkan, jawabannya pun ternyata masih senada, “Sampai hari ini, baru Bu Nisa yang membeli…”!

Pertanyaan yang menguak adalah, mengapa setelah dua tahun berselang, dengan jumlah Midis yang semakin banyak dan masa penawaran yang panjang ternyata pembeli CWLS di Kabupaten Jember tidak beranjak?

Apakah yang terjadi di Kabupaten Jember juga terjadi pada kabupaten/kota lainnya di Indonesia?

Bagaimana dengan kabupaten/kota yang di daerahnya terdapat KPwBI, KOJK, Kemenag, BWI, dan perguruan tinggi dengan Prodi Ekonomi Islam/Ekonomi Syariah/Bisnis Islam/Perbankan Syariah/Mazawa, bahkan juga terdapat unsur lembaga di bawah wewenang Kemenkeu?

Bagaimana dengan kabupaten/kota yang di daerahnya terdapat ormas yang menaungi LAZIS yang menjadi nazir CWLS?

Sekali lagi, tentu butuh riset lebih jauh untuk bisa menjawab semua pertanyaan tersebut. Namun, fakta bahwa jumlah investor SWR002 dan SWR003 secara nasional hanya 56-66 persen dari jumlah investor SWR001 adalah hal yang dapat menjadi indikasi kuat untuk menjawab bahwa yang terjadi di Kabupaten Jember juga terjadi pada kabupaten/kota lainnya. 

Lalu, apa yang bisa dilakukan untuk meningkatkan jumlah investor CWLS? Tunggu artikel selanjutnya ya…

Wallahua’lam bish showab.

Dr. Khairunnisa Musari, Dosen Tetap Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam (FEBI) & Pascasarjana UIN Kiai Haji Achmad Siddiq; Sekretaris 1 DPW Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia (IAEI) Jawa Timur

Editor: Freddy Mutiara

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *