Dinamika Media Sosial Pasca-Pencapresan Ganjar Pranowo
Oleh: Dr. Ade Tuti Turistiati, MIRHRM
Dosen Ilmu Komunikasi, Universitas Amikom Purwokerto
KEMPALAN: Suhu politik semakin memanas setelah diumumkannya Ganjar Pranowo sebagai capres oleh PDIP disusul PPP. Imbasnya terasa pada berbagai kelompok di platform media sosial, terutama group Whatsapp. Dari pernyataan, komentar atau sekadar membagikan tautan bernuansa politik, kita bakal bisa menebak preferensi si pengirim terhadap capres yang sekarang masih 2 pilihan, Anies atau Ganjar. Sederhananya, kalau konten yang dibagikan itu cenderung menjelekkan Anies maka dia adalah pro Ganjar. Sebaliknya jika Ganjar yang disudutkan, maka ia ada dalam barisan pendukung Anies. Namun, tebak-tebakan ini tentu saja tidak selalu benar karena manusia kadang-kadang manipulatif.
Dari berbagai group yang anggotanya heterogen, jika sudah terciprat muatan politik, anggota group lainnya berusaha menetralisir atau bahkan secara tembak langsung melarang anggotanya untuk berbicara masalah politik. Biasanya, ada juga pembela si pengirim dengan dalih kalau tidak suka dengan postingannya tinggal abaikan atau hapus. Ternyata, persoalannya tidak sesederhana itu. Masalahnya, jika didiamkan kadang-kadang postingan senada akan berulang. Apalagi jika yang sefrekuensi memberikan dukungan. Kalau sudah begitu, kelompok yang oposisi pun punya tiga pilihan. Pertama, ia akan meminta postingan yang mengandung unsur politik dihentikan. Kedua, dia akan mengirim narasi yang berlawanan, berita atau tautan tandingan, atau pujian terhadap sosok yang diidolakan. Ketiga, keluar group menjadi pilihan. Alasan keluar group bisa dikreasikan, mulai dari yang sopan karena alasan sibuk pekerjaan sampai left group diam-diam tanpa pesan dan kesan.
Situasi di jagat medsos seperti itu, bukan hal baru. Sebelumnya, sewaktu Prabowo dan Jokowi berlaga pada Pemilu 2019, banyak group-group di media sosial bubar jalan bahkan sampai menimbulkan permusuhan antar teman. Hal tersebut dipicu karena berbeda pilihan yang tidak disikapi dengan apresiasi dan toleransi. Padahal, di kemudian hari Prabowo dan Jokowi berada dalam perahu yang sama.
Bicara politik di group yang anggotanya heterogen rentan perselisihan. Sebelum semua menimbulkan luka, jika Anda tertarik berbicara politik sebaiknya buat group atau masuk ke group tersendiri. Jika kita sudah berada di dalam group medsos yang anggotanya heterogen, ketua group atau admin group perlu mengingatkan anggotanya akan aturan-aturan yang disepakati dalam berkomunikasi di dalam group tersebut. Bagaimana menyampaikan atau mengkomunikasikannya itu yang menjadi penting. Yang sering terjadi, anggota group yang menulis atau mengirimkan tautan yang bernuansa politik kemudian “diingatkan” ramai-ramai oleh anggota group lainnya. Hal ini berpotensi si pengirim meninggalkan group karena malu atau merasa dihakimi. Salah satu cara efektif mengingatkannya lebih baik admin group yang berkomunikasi secara japri ke si pengirim pesan. Kemudian, tulisan atau tautan yang telanjur dikirim dihapus. Momen itu, bisa digunakan oleh sang admin atau pemakrasa group untuk mengingatkan akan tujuan group itu dibentuk.
No politic, no religion, no football
Sebenarnya, tidak hanya masalah politik yang mudah memicu perdebatan tak berkesudahan. Jauh-jauh hari sebelum media sosial banyak digunakan, Friendship Force (FF) sebuah organisasi non-profit sejak awal mewanti-wanti para anggotanya untuk tidak membicarakan tiga hal dalam organisasinya, yaitu politik, agama, dan sepak bola. Peraturan tidak tertulis itu disepakati bersama dan para anggotanya adem ayem melaksanakan berbagai kegiatan.
Friendship Force adalah organisasi yang digagas dan disponsori oleh mantan Presiden Amerika Serikat, Jimmy Carter. Kini FF yang berkantor pusat di Atlanta ini berada di lebih dari 65 negara termasuk Indonesia. Misinya yaitu membangun dan memupuk persahabatan dunia melalui pertukaran warga dan budaya. Anggota Friendship Force dari berbagai negara saling mengunjungi pada setiap tahun. Kunjungan itu semacam home stay atau tinggal di rumah anggota FF yang lamanya antara 1 sampai 2 minggu. Selama melakukan home stay, pengunjung diperkenalkan mengenai kebudayaan, adat istiadat, diajak/diantar ke tempat-tempat wisata, mencicipi makanan khas daerah yang dikunjungi, dan lain-lain.
Menurut Kimura san, salah satu anggota FF dari Jepang yang telah lama menjadi anggota FF, berbicara politik seringkali menimbulkan ketegangan dan berbagai persepsi sehingga dikhawatirkan terjadi suasana yang tidak nyaman dalam persahabatan. Berdiskusi tentang agama kadang-kadang berpotensi menyerempet privasi atau urusan pribadi dengan Sang Pencipta. Sementara itu jika berbicara mengenai sepak bola berpeluang besar memicu terjadinya ketegangan karena adanya fanatisme masing-masing orang akan tim bola kesayangannya.
Bagaimana pun, media sosial hanya sebagai alat, sebagai media komunikasi yang di tangan penggunanya ia akan punya arti. Taati aturan dalam group di media sosial untuk komunikasi yang lebih bermanfaat dan menjaga harmoni. ()