Djajus Pete Pengarang Kodhang

waktu baca 4 menit
Aming (penulis foto kiri) saat bertandang ke rumah Djajus Pete di Bojonegoro. (Foto: AmAm)

OLEH: Aming Aminoedhin

KEMPALAN: Pengarang sastra Jawa yang kreatif namun cukup nyentrik ini kelahiran kota Ngawi (1/8/1948), dan sejak umur 11 tahun ia pindah ke Bojonegoro. Ia seorang guru SD sejak 1971, dan pensiun pada 2008. Selain itu, Djajus pernah jadi wartawan Surabaya Post, Penyiar Radio Swasta di kotanya, Anggota PSJB (meski kemudian mengundurkan diri), dan pernah pula jadi Ketua Dewan Kesenian Bojonegoro.

Karya sastra prosanya, berupa cerkak (crita cekak) sungguh berbeda dengan tulisan cerkak pengarang lainnya. Keterkenalan nama Djajus Pete, memang lantaran nyentrik dan tulisan cerkaknya yang apik dan menarik. Selain juga dia seorang yang intens merokok klobot cak Oeloeng-Duku yang pabriknya dari Bojonegoro itu. Menurut Djajus, menulis sastra itu harus serius, simbolis-surealis yang dalam, dan penuh makna mengenai soal hidup dan kehidupan manusia. Sementara banyak pengarang-pengarang lain, tandas Djajus Pete, biasanya mereka ha-nya mengarang yang realis, gampang ditembak oleh pembacanya.

Djajus Pete, dan rokok klobotnya; saat acara sastra di Ngawi. (Foto: AmAm).            

Pada awalnya, Djajus Pete, memang juga menulis sastra dengan jalur realis tersebut, kata Djajus, bahkan hingga 15 tahun berjalan. Demikian pengakuannya pada tulisan pendeknya, namun kemudian beralih ke aliran sastra simbolis-surealis yang lebih serius. Karya yang bisa ditangkap oleh pembaca yang cerdas dan tinggi cita rasa seni sastranya, tandas beliau almarhum. Hal itu bisa dibaca pada karya-karya cerkak Djajus Pete pada kumpulan cerkak Kreteg Emas Jurag Gupit (2001), setahun kemudian (2002) mendapatkan Hadiah Sastra Rancage yang diketuai Ajip Rosidi itu. Sepuluh tahun berikutnya, 2011, Djajus Pete kembali menerbitkan buku kumpulan cerkan berjudul Gara-Gara Kagiri-Giri, tetap dengan aliran yang sama: simbolis-surealis.

Bicara soal penghargaam Djajus Pete pernah mendapat Balai Bahasa Yogyakarta, sebagai pengarang sastra Jawa terbaik 1998. Penghargaan sebagai budayawan pelestari/pengembang Sastra Jawa dari Bupati Bojonegoro tahun 2000. Bukunya Kreteg Emas Jurag Gupit ‘ dapat Hadiah Sastra Yayasan Rancage, Jakarta, yang diketuai Ajib Rosidi tahun 2002.

Buku terakhir yang terbit karya Djajus Pete adalah berjudul Manuk-Manuk Mabur (2020) memuat 15 cerkaknya, yang kebanyakan yang termuat sudah termuat di buku kumpulan sebelumnya. Sementara itu atas kepergian sang maestro cerkak ( meninggal dunia, 19/7/2022) ini, komunitas Pamarsudi Sastra Jawi Bojonegoro (PSJB) menerbitan buku “Lelakon” Djajus Pete ing Antarane Para Kanca; yang berisi cerkak dan guritannya, juga tulisan para sastrawan Jawa lainnya yang ikut kirim esai pendek atau guritan untuk mengenang beliaunya. Mereka itu antara lain: Widodo Basuki, Aming Aminoedhin, Agus Sighro Budiono, Yusuf Susilo Hartono, JFX Hoery, Sunarko Sodrun Budiman, Trinilya Kasih, Tito Setyo Budi, Mas Gampang Prawoto, Uciek Fuadhiyah, George Quinn, Arieyoko dan banyak lagi.

Kumpulan cerkak Djajus Pete, dan buku “Lelakon” PSJB 2022. (Foto: AmAm)

Sedangkan cerkaknya berjudul ‘Kakus’ dapat hadiah sastra dari majalah Panjebar
Semangat (1993) sebagai cerkak terbaik selama empat tahun dari cerkak-cerkak lain yang
termuat di Panyebar Semangat pada 1989 hingga 1993. Begitu pula cerkak ‘Bedhug” dapat hadiah yang sama dari majalah Panyebar Semangat (1997) sebagai cerkak terbaik selama empat tahun dari cerkak-cerkak lain yang termuat di Panyebar Semangat pada 1993 – 1997. Cerkak kak ‘Tikus lan Kucinge Penyair’ dapat hadiah sastra dari Sanggar Sastra Triwida, Tulungagung, tahun 1995. Pernah juga mendapat penghargaan dari Gubernur Jawa Timur, 2004, sebagai bidang Sastrawan Jawa.

Djajus Pete yang rokonya khas rokok klobot cap Oeloeng ini, pernah menjabat jadi Ketua Dewan Kesenian Kabupaten Bojongeoro, masa bakti 2001 – 2004. Pernah tahun 1999, baca cerkake di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, pada acara sastra Daerah. Waktu itu bersama almarhun Prof. Dr. Suripan Sadi Hutomo (IKIP Surabaya) sebagai penceramah sastra Jawa. Lantas Widodo Basuki (redaktur Jaya Baya) baca guritan, juga Poer Adhie Prawoto dari Surakarta.. Jadi pemakalah dan narasumber tunggal penulisan sastra kreatif di sanggar-sanggar Sastra Jawa, di Fakultas Sastra -Jurusan basa – sastra Jawa, IKIP Surabaya. Beberapa mahasiswa dari IKIP PGRI Semarang, UGM Yogya, dan UNS Sebelas Maret Solo, yang menjadikan karya-karya Djajus Pete untuk objek penelitian skripsinya.

Bersama kawan-kawan PSJB dari Bojonegoro sempat hadir acara di teras Arena Teater Taman Budaya Jawa Tengah ( Surakarta ), 18 April 2022 pada perhelatan Malam Sastra Jawa
“Anggara Kasih 7 ” di Solo.

Dalam rangka mengenang 100 hari meninggalnya maestro cerkak Jawa, Djajus Pete, Komunitas Pamarsudi Sastra Jawi Bojonegoro (PSJB) meluncurkan sebuah buku antologi bertajuk “Lelakon Djajus Pete Ing Antarane Para Kanca” pada Minggu (30/10/2022). Bertem-pat di kediaman pegiat sastra jawa JFX Hoerry, yang menginisiasi buku itu. Persisnya berada di Kecamatan Padangan, Kabupaten Bojonegoro.

Beberapa tokoh sastra Jawa ikut hadir dan berdiskusi waktu, antara lain: Dr. Tito Setyo Budi ( Sragen), Dr. Rahmat Djoko Prakosa, Dr. Suharmono K dari PPSJS (Paguyuban Pengarang Sastra Jawa Surabaya), pengarang Sanggar Triwida Trenggalek, St. Sri Emyani; Dr. M Shoim Anwar dari Unipa (Universitas PGRI Adi Buana) Surabaya, peneliti BBY Yogyakarta, Dhanu Priyo Prabowo dan banyak lagi. Djajus Pete bukan cuma pengarang cerkak, tapi juga penggurit atau menulis pula puisi berbahasa Jawa. Selamat jalan, Kang Djajus Pete. Semoga jembar lan padhang kuburane. Aamiin YRA. (*)

Editor: DAD

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *