Fahri Seperti Menemukan Mainan Baru

KEMPALAN: Seorang kawan mengirim pesan singkat via WhatsApp , sambil disertakan sebuah berita dari sebuah media online. Pesan singkatnya, “Siapa mengira Fahri bisa berubah.” Yang dimaksudnya itu Fahri Hamzah, politisi Partai Gelora. Sedang berita yang disertakannya, “Fahri Hamzah Tantang KPK Usut Utang Anies…”.
Membaca pesannya, saya tidak meresponsnya. Tidak ingin ikut terlibat pembicaraan yang lebih pada spekulasi, yang diramu dengan asumsi untuk menilai seorang Fahri Hamzah. Meski memang tampak, Fahri berubah dalam pandangan politiknya.
Perubahan sikap apalagi ekstrem pada siapa saja, itu sulit bisa dinalar. Perubahan sikap dari kiri yang tiba-tiba berbelok ke kanan atau sebaliknya, itu pantas membuat para pihak bertanya-tanya: apa yang sebenarnya terjadi pada perubahan sikap itu, termasuk perubahan ekstrem yang ditampakkan Fahri Hamzah.
Analisa atau setidaknya komentar beragam pun muncul mempertanyakan, apa yang sebenarnya terjadi dengannya, sehingga ia bisa berubah dalam mengambil sikap. Dari yang tadinya seorang kawan ditempatkan layaknya lawan. Fahri akhir-akhir ini memang tengah asyik melempar narasi “ketus” pada Anies Baswedan, mantan Gubernur DKI Jakarta. (Baca tulisan penulis sebelumnya, “Fahri Main-main”, 5/01/2023).
BACA JUGA: Fahri Main-main
Hal sederhana dan itu menyangkut Anies dimanipulasi jadi sesuatu yang besar. Bahkan sesuatu yang nyaris selesai dibicarakan, itu ditariknya lagi dibuat jadi sesuatu yang bisa menarik Anies jadi pihak yang patut dianggap bersalah. Dengan argumen menawan jika berbicara, meski apa yang disampaikan itu muatannya lebih sekadar asumsi, yang dilempar sebagai sesuatu. Asumsi tetaplah asumsi, dan itu subyektif muncul sebagai apa yang dipikirkan, dan itu yang dimauinya.
Fahri tak merasa risih, bahkan “garang” menyarankan pada komisi anti rasuah (KPK), yang memang tengah mengendap-endap mentersangkakan Anies, itu coba diberinya jalan lewat kasus utang-piutang antara Anies dan Sandi. Dan, itu pada Pilkada DKI Jakarta (2017). Selama ini andalan KPK mentersangkakan Anies lewat pintu penyelenggaraan Formula E, tak mampu menemukan alat bukti. Maka, Fahri menyarankan KPK masuk menyelidiki kasus utang-piutang Pilkada DKI Jakarta. Tampak absurd.
Sebut Fahri, kesepakatan itu semacam perjanjian yang berpotensi menimbulkan permufakatan jahat. Fahri menggiring opini seolah utang-piutang berdasar perjanjian, itu langkah salah yang dilakukan Anies. Utang-piutang yang bersifat pribadi ditarik pada permufakatan jahat, itu memang tidak nyambung dan lebay.
“Ya memang perjanjian seperti itu tidak boleh ada. Dan kita harus komit supaya hutang piutang antara politisi di belakang layar itu harus ditiadakan, karena itu bisa disebut permufakatan jahat,” ujar Fahri, Selasa (14/2/2023).
Perjanjian utang-piutang yang mestinya tidak perlu muncul, karena itu sudah selesai dengan kemenangan Anies-Sandi di Pilkada DKI Jakarta 2017, jika merujuk pada bunyi perjanjian itu dibuat. Munculnya berita yang sebenarnya tidak punya nilai berita, jika tidak ada unsur Anies di sana, terus coba digiring. Dibuat tidak cepat-cepat hilang tersapu angin. Durasi dibuat lebih panjang, seolah itu sesuatu.
BACA JUGA: Riuh Downgrade Anies, Berhasilkah? Gak lah!
Berita utang-piutang itu dimunculkan seakan berjenjang, siapa saja yang mesti bicara perihal utang-piutang itu. Dan, Fahri seperti menempatkan diri bagian dari yang turut meramaikan dengan narasi yang dibuatnya, “utang-piutang yang bisa menimbulkan permufakatan jahat”. Fahri seolah boleh bicara sesukanya, bicara dengan asumsi tanpa dalil aturan yang memang terlarang. Asumsi yang dibangun Fahri, itu seperti ngarang bebas tanpa tema sesukanya.
Fahri muncul sebagai seseorang yang berbeda, itu ditampakkan dari sikap ia menempatkan diri ada di posisi mana, yang itu menimbulkan keheranan banyak pihak. Tapi pada pihak yang tadinya berseberangan, Fahri sudah jadi “kawan” seiring dalam barisan istana. Fahri seperti menemukan mainan baru.
Politisi berganti peran dan posisi itu bukanlah hal aneh, itu lebih pada konsistensi sikap. Pastilah pilihan Fahri itu tidak berdiri sendiri, tapi itu juga kebijakan partai. Pilihan yang diyakini paling tepat untuk mengerek elektoral partainya.
Karenanya, tidaklah perlu heran sampai terkaget-kaget melihat sikap Fahri yang tidak seperti dulu, yang bisa jadi kedepan ia akan terus membuat narasi yang “mengecilkan” Anies dalam berbagai situasi yang memungkinkan. Apa yang dilakukan Fahri itu akan diuji seberapa tepat sikap politiknya, itu nantinya mampu membuat Partai Gelora bisa bersaing dengan partai-partai lain dalam Pemilu 2024.
Fahri memang tengah menemukan mainan baru, itu yang tengah ditampakkannya, dan ia tengah asyik menimang-nimang mainan barunya. Memang lalu menjadi sulit bisa membedakan antara Fahri dimainkan sebagai mainan, atau Fahri tengah memainkan mainannya. (*)
