Imlek
KEMPALAN: TAHUN Imlek kali ini ditandai dengan beberapa sinyal yang berbeda di berbagai belahan dunia. China sudah membuka negaranya untuk dikunjungi orang asing, dan memperbolehkan warganya untuk bebas berkunjung ke luar negeri. Tetapi, Eropa dan Amerika masih mencurigai pandatang dari China dan tetap mensyaratkan mereka melakukan tes anti Covid-19.
Imlek tahun ini seharusnya bisa dirayakan sebagai tahun pertama setelah pagebluk Covid-19 mendera selama dua tahun terakhir. Warga China sudah tidak tahan untuk bisa menikmati liburan dengan berkunjung ke luar negeri. Warga negara China di luar negeri sudah sangat rindu untuk pulang menjenguk keluarga.
Perayaan Imlek adalah pesta untuk menyambut datangnya musim semi. Karena mayoritas penduduk Tiongkok ketika itu menggantungkan hidupnya pada pertanian, maka para petani selalu gembira ketika tiba musim semi setelah mengalami musim dingin yang dianggap sebagai ‘’kematian’’ karena tidak bisa melakukan apa-apa.
Gong Xi Fat Chai menjadi ucapan yang lazim disampaikan oleh para petani yang saling mendoakan supaya kekayaan dari hasil pertanian berlimpah. Para petani kembali mempersiapkan tanah, bibit dan hal-hal lain yang berkaitan dengan pertanian untuk mulai lagi bercocok tanam.
BACA JUGA: Jacinda Ardern
Karena itu, perayaan Imlek dimaknai sebagai ungkapan rasa syukur atas rezeki selama setahun ini dan berharap kemakmuran akan datang pada tahun depan.
Di Indonesia situasinya berbeda, karena perayaan Imlek yang jatuh pada Januari atau Februari ditandai dengan curah hujan yang lebat sehingga bukan menjadi waktu yang tepat untuk bercocok tanam. Kepercayaan tradisional China meyakini pergantian tahun adalah hal yang patut disyukuri.
Karena itu, mitosnya apabila hujan lebat di malam menjelang Imlek berarti ada harapan rezeki yang bakal turun deras di tahun baru. Hujan lebat dalam kepercayaan Feng Shui diyakini membawa rezeki, karena Dewi Kwan Im dipercaya turun membawa kembang Meihua yang menjadi perlambang rezeki dan kemakmuran.
Hari raya Imlek seharusnya menjadi ‘’festive season’’ hari besar yang dirayakan dengan suka cita. Tetapi pemerintah China masih sangat berhati-hati dan waspada terhadap kemunculan kembali varian baru Covid-19, dan berbagai pembatasan masih diberlakukan.
Rakyat sudah sangat bosan dan merasa terkekang. Protes terbuka dilakukan akhir tahun lalu untuk mendesak pemerintah mengakhiri kebijakan zero pandemic yang meresahkan. Akhir 2022 muncul demonstran generasi baru, anak muda yang ikut serta dalam aksi protes publik pertama mereka.
Di jalan-jalan, mereka terang-terangan menuntut untuk lepas dari kebijakan nol-Covid yang telah berlaku selama lebih dari tiga tahun. Di Shanghai, awalnya aksi protes dilakukan diam-diam, tapi akhirnya berkembang menjadi unjuk rasa terbuka.
Kebijakan nol Covid telah mencuri tahun-tahun terbaik dalam hidup anak-anak muda.
Generasi milenial China kehilangan penghasilan dan mata pencaharian, kesempatan untuk pendidikan dan perjalanan. Terperangkap dalam lockdown, kadang-kadang sampai berbulan-bulan, mereka terpisah dari keluarga dan terpaksa menunda atau membatalkan rencana hidup.
BACA JUGA: Kesambet Sambo
Gelombang kekecewaan meledak menjadi kemarahan, dipicu oleh kebakaran apartemen yang menewaskan 10 orang di Urumqi, Xinjiang. Kabar yang beredar menyebutkan bahwa para penghuni apartemen tidak bisa menyelamatkan diri karena akses keluar apartemen digembok selama lockdown.
Unjuk rasa meluas ke Shanghai, kota pusat finansial China. Pengunjuk rasa menyalakan lilin sebagai tanda duka cita bagi para korban kebakaran. Pada pengunjuk rasa juga mengangkat kertas kosong. Puluhan orang mengangkat lembaran kertas kosong, sembari diterangi senter dari ponsel mereka. Petugas keamanan kemudian membubarkan unjuk rasa tersebut.
Unjuk rasa perorangan juga dilakukan di sebuah kampus di Nanjing. Seorang perempuan sendirian berdiri di tangga kampus dengan membentangkan poster kosong. Petugas keamanan datang dan menangkap perempuan itu.
Beberapa warganet menunjukkan solidaritas dengan memposting kotak putih kosong. Banyak juga yang memasang foto diri mereka dengan memegang kertas kosong di timeline WeChat atau di Weibo. Pada akhir pekan tagar “kertas putih” menjadi trending topic tapi segera diblokir di Weibo.
Tindakan ini malah memicu reaksi lebih keras karena dianggap sebagai sensor yang represif. Jika Anda takut terhadap selembar kertas kosong berarti Anda lemah. Begitu narasi yang disebarkan warganet.
Aksi kertas kosong ini diilhami oleh para aktivis demokrasi di Hongkong dalam gerakan menentang represi pemerintah China pada 2020. Para aktivis mengangkat lembaran kertas putih kosong sebagai protes terhadap tindakan keras pemerintah China terhadap pengunjuk rasa. Sebuah undang-undang keamanan nasional baru yang disahkan pada 2019 melarang slogan-slogan anti-pemerintah dalam unjuk rasa.
Untuk menghindari ancaman undang-undang, para pengunjuk rasa menyiasatinya dengan membentangkan kertas kosong. Aparat keamanan tidak bisa berbuat banyak oleh gerakan ini, karena tidak ada pasal yang bisa menjerat para pengjunjuk rasa.
Aksi ini mendapat liputan internasional yang luas. Para aktivis di negara lain meniru taktik ini untuk menujukkan protes diam. Hal itu terlihat pada unjuk rasa di Moskow, Rusia, beberapa waktu yang lalu. Beberapa pengunjuk rasa membentangkan kertas putih untuk memrotes invasi Rusia ke Ukraina.
BACA JUGA: Erick Thohir for PSSI
Aksi unjuk rasa di China akan semakin meluas sampai ke ibukota Beijing. Mahasiswa yang melakukan demonstrasi bahkan berani meneriakkan tuntutan agar Presiden Xin Jiping mengundurkan diri. Tuntutan keras semacam ini tidak pernah terjadi sejak peristiwa Tiananmen 1989.
Xi Jinping telah berhasil memperpanjang masa kepresidenannya menjadi 3 periode dengan mengubah konstitusi. Perubahan ini dianggap penuh rekayasa, tetapi elite politik China tidak ada yang berani memrotes terbuka karena takut akan tindakan represif dari Presiden Xi.
Tetapi gerakan ujuk rasa oleh mahasiswa yang dipicu oleh kebijakan lockdown ini membuka celah bagi oposisi untuk melakukan protes. Dalam sejarah China modern para mahasiswa menjadi ujung tombak gerakan perubahan, tetapi juga sekaligus menjadi martir gerakan perubahan yang menuntut demokratisasi.
Peristiwa Tiananmen 1989 menjadi catatan paling kelam dalam sejarah gerakan demokrasi di China. Puluhan ribu mahasiswa menduduki lapangan Tiananmen di wilayah Kota Terlarang selama berbulan-bulan. Para pengunjuk rasa awalnya hanya berjumlah kecil. Lambat laun unjuk rasa berkembang menjadu ribuan dan puluhan ribu.
BACA JUGA: Cak Nun dan Firaun
Penindasan besar ini dikenal sebagai ‘’Peristiwa 6/4’’ karena terjadi pada 4 Juni. Pengunjuk rasa menguasai Tiananmen dan memblokir semua akses untuk mencapai pusat lapangan. Pasukan keamanan berulang kali berusaha menerobos, tetapi selalu bisa digagalkan. Beberapa kali pula pasukan keamanan menyelundupkan senjata ke Tiananmen, tetapi bisa digagalkan dan dirampas oleh mahasiswa.
Gerakan mahasiswa semakin radikal. Tidak ada negosiasi, tidak ada tawar menawar. Elite politik China juga terbelah. Deng Xiaoping–yang sedang berkuasa setelah bertahun-tahun dipinggirkan oleh lawan politiknya—bertekad mengakhiri gerakan mahasiswa dengan cara apapun. Pemimpin Partai Komunis China (PKC) Hu Yaobang yang dikenal sebagai reformis, menentang tindak represif Deng.
Tapi, akhirnya Deng yang menang. Pada tengah malam 4 Juni, puluhan tank meraung-raung memasuki Tiananmen. Seorang mahasiswa dengan gagah berani mengadang tank itu, tetapi segera disingkirkan. Foto yang beredar luas ke seluruh dunia terkenal sebagai ‘’The Tank Man’’, manusia tank.
BACA JUGA: Malapetaka Morowali
Para mahasiswa sudah diperingatkan oleh simpatisan untuk membubarkan diri. Tetapi mahasiswa radikal menolak. Akhirnya tank melaju ke arah kerumunan dan melindas ribuan mahasiswa tanpa ampun.
Pemerintah mengklaim 300 mahasiswa tewas. Tetapi sumber independen menyebut jumlah korban tewas mencapai 1000 orang sampai 3000 orang. Dunia mengutuk aksi tidak berprikemanusiaan itu, tapi China tidak peduli. Gerakan demokratisasi yang disponsori mahasiswa berhasil dibungkam dan gerakan mahasiswa dimatikan. Sekarang, 30 tahun kemudian, benih gerakan mahasiswa muncul lagi.
Imlek 2023 kali ini bertepatan dengan tahun kelinci air dalam tradisi China. Kelinci dipercayai sebagai simbol umur panjang, kedamaian, dan kemakmuran dalam budaya China. Karena itu, 2023 diprediksi menjadi tahun harapan, meskipun masih penuh dengan tantangan.
Gong Xi Fat Chai. (*)
Editor: DAD