Luhut dan OTT

waktu baca 7 menit
Luhut Binsar Panjaitan (Hendra Eka/Jawa Pos)

KEMPALAN: ‘’BERIKAN saya 100 peti mati, 99 untuk koruptor dan satu untuk saya, kalau saya melakukan korupsi.’’

Ungkapan itu begitu terkenal di seluruh dunia, dan menjadi jargon anti-korupsi paling kuat dan paling dihafal di seluruh dunia. Semua tahu, kalimat itu diungkapkan oleh pemimpin China Zu Rongji ketika dilantik pada 1998. Sejak itu, perang melawan korupsi menjadi salah satu program utama pemerintah China. Ibaratnya, hari anti-korupsi diperingati dan diterapkan setiap hari di China, bukan setahun sekali seperti di bagian dunia lainnya, termasuk di Indonesia.

Pemberantasan korupsi di Indonesia maju mundur. Kadang maju, kadang mundur, tapi lebih sering mundur. Komitmen pemerintah terhadap pemberantasan korupsi diragunkan banyak pihak. Tonggaknya terjadi ketika pemerintah merevisi undang-undang KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) pada 2019. Ketika itu terjadi unjuk rasa besar-besaran di berbagai kota besar di Indonesia. Tapi, unjuk rasa itu tidak mengaruh, dan DPR tetap mengesahkannya.

BACA JUGA: Industri Islamophobia

KPK mengalami pelemahan, karena lembaga yang seharusnya independen sekarang berada di bawah presiden. Selain itu dibentuk Dewan Pengawas yang dianggap membelenggu langkah KPK. Seharusnya Dewan Pengawas menjadi lembaga yang mengawasi KPK supaya konsisten dengan semangat pemberantasan korupsi. Alih-alih, Dewan Pengawas menjadi lembaga yang tidak bergigi dan tidak bertaji.

Salah satu indikator pelemahan KPK yang paling mencolok adalah pemecatan sejumlah penyidik andal yang dikenal dengan sebutan ‘’Raja OTT’’ alias raja operasi tangkap tangan. Para penyidik di bawah kepemimpinan Novel Baswedan dan Harun Al-Rasyid dikenal berintegritas tinggi dan tangguh dalam mengungkap kasus-kasus korupsi berskala raksasa. Tim ini disingkirkan melalui mekanisme seleksi yang lebih mirip lelucon.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *