Piala Dunia Qatar 2022, Sepakbola Identitas, dan Buzzerokrasi

waktu baca 3 menit
Pemain Maroko didampingi pelatihnya Wahid Regragui, usai dikalahkan timnas Prancis. (Foto: (c) AP Photo/Manu Fernandez)

KEMPALAN: MAROKO harus mengakui keunggulan gurunya, Perancis di semifinal Piala Dunia Qatar 2022 setelah kalah 0-3. Kekalahan bukan berarti kehilangan segala-galanya. Maroko masih meraih gains (keuntungan) berupa citra sebagai tim sepak bola berkeadaban.

Lihatlah saat menang tidak jumawa, apalagi merendahkan dan menghina lawan. Saat kalah tidak ngamuk . Menang kalah tetap melakukan sujud syukur di lapangan. Mencerminkan sikap narimo ing pandum (menerima apapun pemberian) Tuhan. Karena mereka meyakini semua yang terjadi di atas bumi itu bi idznillah (atas izin Allah).

Di tengah gegap gempita pesta pora sepak bola dunia, Maroko mengingatkan bahwa di belahan dunia lain masih ada tangis pilu rakyat Palestina yang menyayat hati karena penindasan, penjajahan dan aksi terorisme oleh Israel.

Mengingatkan bahwa dunia harus berkeadilan. Barat selama ini tidak adil. Mereka sangat keras meneriakkan hak asasi manusia (HAM) tapi pada sisi lain tutup mata atas tindakan pembasmian etnis yang terjadi di Palestina. Barat meneriakkan perdamaian, tetapi di sisi lain terus merojoki Ukrania dengan utangan senjata untuk melawan Rusia.

BACA JUGA: Piala Dunia Qatar 2022 dan Sunatullah Perubahan

Barat kencang meneriakkan perdamaian dunia tapi pada sisi lain mengobrak abrik Suriah. Menyerpih-nyerpih Yugoslavia hingga sekarang belum selesai. Mereka mengangkangi Irak, Libya. Membiarkan Israel memproduksi nuklir dan senjata pemusnah massal lain, sementara terus menghardik-hardik dan menfitnah Iran. “Barat munafik,” kata Presiden FIFA Gianni Infantino.

Maroko mencerahkan. Maroko mengingatkan. Maroko melakukan ajakan kebaikan dan mencegah kemungkaran (amar makruf nahi mungkar). Maroko memberi contoh bagaimana menjunjung tinggi sportivitas.

Maroko terkesan mengimplementasikan ajaran – minimal sejalan dengan – Albert Camus, filosuf Perancis, menjadikan sepak bola sebagai sumber nilai sportivitas. “Kalau mau mendapatkan sportivitas, belajarlah kepada sepakbola,” kata Camus yang mengawali kariernya sebagai filusuf justru dari sepakbola.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *