Gus

waktu baca 3 menit
ILUSTRASUL Foto: nu.or.id

KEMPALAN: DARI segi budaya, panggilan “Den Bagus” atau ”Gus”adalah umum untuk memanggil anak laki-laki dari seseorang. Gus adalah gelar Jawa yang amat popular dikalangan santri di pesantren dan masyarakat tradisional terutama di pulau Jawa. Menurut KKBI, “Gus” adalah nama julukan atau nama panggilan kepada laki-laki. Gelar depan ini bermakna “Bagus”, tampan, atau pandai.

Gus dan Ning merupakan sebutan bagi anak keturunan Kiai. Gus untuk putra (anak laki-laki) dari Kiai, Ning atau disebut juga Neng untuk putri atau anak perempuan dari Kiai.

Variannya bisa menjadi ‘Agus’ untuk gelar putra atau keluarga laki-laki dari seorang Kiai yang belum cukup memenuhi syarat untuk disebut Kiai atau sebagai panggilan keakraban dan bentuk penghormatan. Selain kepada putra kandung, Gus juga bisa disematkan kepada laki-laki menantu Kiai meskipun tidak memiliki garis keturunan Kiai.

Sebutan Gus itu sejatinya diperuntukkan bagi putra Kiai yang belum pantas disebut Kiai. Namun biasanya tak hanya karena mereka merupakan dzurriyah (keturunan) Kiai Pengasuh pesantren saja yang harus dihormati dan di ta’dzimi oleh para santrinya. Santri-santri yang memiliki ilmu dan pemahaman yang lebih mengenai agama Islam kerap juga mendapat panggilan Gus dan Ning.

BACA JUGA: Kehidupan Dunia

Menurut seorang Kiai, di dunia ini terdapat tiga tingkatan “Gus”. Pertama, seseorang yang memiliki garis keturunan langsung dari ayahnya yang merupakan seorang Kiai disebut “Gus Nasab”.

Bagi seseorang yang memiliki keberuntungan karena memiliki pengetahuan yang tinggi terkait ilmu agama Islam dan biasanya dijodohkan langsung dengan Ning sang puteri Kiai, disebut “Gus Nasab”.

Ketiga adalah “Gus Nusub”. adalah mereka yang masuk dalam kriteria orang-orang yang berambisi besar. Saking terobsesinya menjadi “Gus” atau niatan lain, mereka sengaja “nusub-nusub” atau mencari celah untuk masuk dengan menggondol hati para “Ning/Neng”.

Dari berbagai kisah yang ada di dunia nyata, kebanyakan Gus Nusub dicoba dengan banyak penyakit hati seperti sombong, ujub dan lain sebagainya. Pada kenyataannya, jarang sekali mereka yang berada pada ‘maqam’ Gus Nusub bisa melewati cobaan tersebut. Dan bagi mereka yang lulus dari cobaan, mereka cenderung untuk masuk sikap “ngoco ing njero” (intropeksi).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *