Kilas Kenangan Mewawancarai Istri Datuk Anwar Ibrahim Sehari Menjelang Sidang Perdana Mahkamah Federal
KEMPALAN: DILANTIKNYA Datuk Seri Anwar Ibrahim menjadi Perdana Menteri Malaysia ke-10 menjadi buah manis perjuangan setelah 26 tahun lebih jatuh bangun. Tuduhan kasus sodomi terhadap mantan Timbalan PM, Anwar Ibrahim oleh penguasa PM Datuk Seri Mahathir Mohamad- waktu itu- benar-benar menggemparkan dunia. Situasi politik Malaysia terasa mencekam.
Dua hari menjelang sidang perdana kasus tersebut, Gubernur Riau, Soeripto- masa itu- memanggil saya (yang menjadi wartawan Media Indonesia) jbersama senior saya (Alm) H. Mulyadi, wartawan Suara Pembaruan. Hubungan kami memang sudah akrab.
“Pak Mul, Fakhrunnas, kalian berdua mau ke Malaysia? Coba pantau situasi politik di sana. Anwar Ibrahim mau disidang,” kata Soeripto. Kami langsung menyanggupi. Memang beberapa kali Soeripto ‘menugasi’ kami untuk meliput peristiwa di negeri jiran itu. Kami pernah juga diminta meliput jejak sejarah dihukum gantungnya Usman dan Harun di penjara Changi, Singapura, 17 Oktober 1968. Atau melacak keberadaan perantau Jawa di Malaysia dan beberapa isu lain.
Persis satu malam jelang sidang perdana kasus sodomi itu, kami sudah berada di Kuala Lumpur. Datuk Anwar dituduh melakukan sodomi terhadap Mohd. Saiful Bukhari Azlan, salah satu anak buahnya, pada 2008.
Lepas Maghrib kami ‘nyelonong’ naik taksi ke kediaman Anwar di kawasan Bukit Damansara (perumahan pembesar negara Malaysia). Waktu supir taksi menanya mau diantar ke mana. Kami bilng mau ke rumah Datuk Anwar. Supir taksi macam tak percaya: “Iye ke? Saya sudah 20 tahun bawa taksi, tak pernah ada penumpang nak diantar ke rumah Timbalan PM ini.”
Malam itu ada belasan orang di halaman depan dan samping rumah dinas kediaman Datuk Anwar. Kami duga sebagian besar mereka adalah para petugas intel yang berpakaian preman. Kami menyapa mereka dengan ucapan “Assalamualaikum” dan dijawab orang yang kami kewati dengan kata “sile Nick.” Berkali-kali kami menyapa hingga sampai di teras belakang.