Melongok Islam dari Balik Jendela Masjid, Itu Sudah Cukup Buat Daniel

waktu baca 4 menit

KEMPALAN: Daniel Mananta sudah mualaf, bunyi sebuah berita yang belum tentu kebenarannya. Belum terkonfirmasi pada yang bersangkutan. Saat ditanya, apa benar ia telah menjadi mualaf. Daniel seperti terkesiap sejenak, ia memilih dengan tidak menjawab, memilih bicara hal lain. Itu saat ia menghadiri podcast YouTube Kasisolusi, Kamis (18 November).

Muncul spekulasi tentang kebenaran berita itu. Diamnya Daniel dan lalu mengalihkan pembicaraan pada hal lain, itu bukti ia sudah mualaf, kata pihak yang mempercayainya. Meski diamnya itu tidak menjawab tentang kabar sebenarnya tentang mualafnya. Dan memang tidak patutlah mengusik dengan menodongkan tanya hal bersifat pribadi.

Daniel sudah mualaf, atau Daniel saat ini sedang mempertimbangkan sebuah putusan akan haknya memilih agama baru, atau bahkan Daniel masih setia pada agama ibu bapaknya, itu haknya. Tidak ada yang boleh mengusiknya. Biar saja jika langkah Daniel cuma diniatkan membangun kebersamaan, berharap berlanjut pada sikap saling memahami.

Daniel punya kebebasan mempertimbangkan pilihannya. Pilihan merubah keyakinan, itu bukan perkara mudah. Semua pilihannya, pastilah punya alasan yang sudah melewati pergulatan pemikiran yang dalam. Apapun pilihannya. Memilih menjadi pribadi yang berubah, atau lebih memilih tetap pada pilihan semula, itu haknya. Semua lewat pertimbangan, yang pastilah tidak mudah. Putusan memilih, dan atau memilih tetap tidak berubah, itu punya konsekuensinya masing-masing yang mesti ditanggungnya.

Pencarian Daniel Mananta menjadi berita–jika boleh disebut–karena ia publik figur. Padahal tiap hari orang bisa berubah keyakinan (agama), tapi memang sedikit yang jadi berita luas. Daniel lebih diberitakan, karena ia juga seolah “membela” Ustad Abdul Somad (UAS) atas pernyataan kontroversialnya atas patung salib.

Daniel tidak membela UAS, tapi lebih pada menempatkan kesalapahaman, dan itu karena saudara seagamanya (kristiani), tidak melihat Alkitab (Bibel) dengan sebenarnya–saya tidak ingin masuk dalam hal sensitif ini, meski itu bukan hal rahasia lagi.

Tapi sikap Daniel yang serasa berani dalam “membela” UAS, karena menurutnya itu sesuai dengan Alkitab. Katanya, apa yang disampaikan UAS ada benarnya tentang salib. Maka dalam suatu kesempatan Daniel perlu membuat video beberapa menit tentang itu–video yang lebih dikhususkan untuk saudaranya yang kristiani–agar tidak jadi kesalahpahaman yang seperti tak hendak disudahi.

Daniel berani ambil risiko, dan ia tampak siap untuk itu. Sebuah keberanian yang sulit bisa digambarkan. Bisa saja itu suplai “kekuatan” Tuhan membersamainya.

BACA JUGA: Melihat Daniel dari Pekarangan Islam, Itu Sudah Cukup

Pengakuan Daniel yang ingin “mendekat” pada UAS, itu dimulai saat pemerintah Singapura menolak UAS masuk wilayah teritorialnya. Maka mulailah ia berulang mencoba mengundang UAS dalam podcastnya.

Sampailah beberapa hari dari waktu kesepakatan, Daniel jatuh sakit. Firasanya ia terserang Covid-19. Keraguan pun muncul, apakah ini bentuk Tuhan menegur agar ia tak melanjutkan acara bertemu UAS. Ia putuskan cek lab, yang jika positif maka ia punya alasan membatalkan, dan tidak ingin meneruskan. Ternyata hasil tes negatif. Gejala tifus saja.

Karenanya, ia tak hendak menghentikan acara yang sudah diatur semula. Daniel memberi kesaksiannya, bahwa pertanyaan yang diajukan pada UAS itu bukan dari dirinya. Katanya, seperti Tuhan menuntunnya. Lanjutnya, saat itu ia blank seblank-blanknya.

“Semua pertanyaan yang gue tanya ke UAS menurut gue itu sumbernya bukan dari gue, karena Daniel Mananta yang profesional tidak akan come up dengan pertanyaan tersebut.”

Bahkan saat diundang UAS ke Pekanbaru, Daniel dan istri Viola Maria, perlu berdoa pada Tuhan apakah ia penuhi undangan UAS atau tidak. Tapi dorongan untuk berangkat, sepertinya kuat. Ia putuskan berangkat, tanpa ada kru menyertai, dan di sana ia memilih untuk tak perlu buat konten.

“Gue cuma pengin bener-bener ngebangun hubungan sama UAS. Kapan kita terakhir membangun hubungan sama orang tanpa kita kontenin?”

Daniel menegaskan, bahwa kedatangannya di Pekanbaru hanya ingin membangun kebersamaan bersama UAS. Dan, itu sudah cukup. Langkah selanjutnya biarlah jadi urusan Tuhan, yang akan mencukupkan sampai di sini atau akan berlanjut lebih jauh lagi.

Daniel Mananta dan UAS akan terus berjalan dengan passion nya masing-masing. Setidaknya mereka sudah membangun kebersamaan. Semoga terus terpupuk selamanya. Mereka berdua setidaknya mampu mengajarkan keindahan sebuah hubungan, yang saling memahami satu dengan lainnya.

Maka, biarlah jika Daniel Mananta ingin melongok Islam, meski itu cuma dicukupkan dari balik jendela masjid saja. Selanjutnya, biar skenario Tuhan yang berbicara. Satu hal yang pasti, Daniel sudah memulai langkah tepat dengan membangun kebersamaan, dan itu amat bernilai. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *