Puisi-Puisi Minggu Ini

waktu baca 2 menit

Bagus Putu Parto
DI MANAKAH KAU INDONESIAKU?

Di manakah kau Indonesiaku?
Ketika kurogoh KaTePe
di saku celana bertuliskan
kewarganegaraan Indonesia
tapi pada kenyataan
kami hidup pada dunia tak bersekat

Ketika anak-anak bebas berkelana
bertualang menjelajah google
membaca gemerlap peta dunia
larut dalam kehidupan maya
Pornografi – pornoaksi
bukan sesuatu yang tabu dipertunjukkan
Tak ada bedanya nonton televisi
sajian dalam negeri, atau
tayangan belahan benua manapun
Kebebasan telah menjadi komoditi
seperti jual beli sex antar benua
sebebas barang-barang import
menjajah mall-mall kita
merebut hati pembeli
alpa pada barang made in sendiri

Di manakah kau Indonesiaku?
Kalau suatu waktu
kami kehilangan cita rasa
sebagai manusia Indonesia
karna telah digelontor
produk-produk import
jeruk mandarin, apel washington
spa body, rebonding, pediacur
mc donal, KFC, hoka hoka bento
tlah menjadi gaya hidup dan gengsi

Di manakah kau Indonesiaku?
Untungnya “Pak Ngadiman”
ketua RT VIII desa Gogodeso
masih orang Indonesia Asli

Blitar, 17 Agustus 2008

*

Aming Aminoedhin
SUMPAH JANJI PEMUDA

Junjung bahasa Indonesia bisa jadi
jembatan persatuan wilayah negara, tak
goyah lagi. Sumpah janji pemuda itu
semacam mantra, perekat suku bangsa
aneka warna. Tegak bersatu dalam satu
bendera, merah putih saja. Indonesia
negeri tercinta.

Sumpah janji pemuda itu, bikin lestari
negeri gemah ripah loh jinawi. Tetap
tangguh, ada segala kendala dibikin rubuh.
Negara ini tetap tegak utuh menyeluruh,
negeri indah Indonesia.
Sumpah janji pemuda ini tak lapuk
oleh hujan, tak lekang panas mentari.
Tetap abadi di hati pemuda, hingga abad
milenial ini. Satu bendera merah putih
warna. Satu bahasa Indonesia
jadi pemersatu bangsa dan
negara tercinta Indonesia.

Mojokerto, 28/10/2022 (04.02)

Warok Sutejo
KESAKSIAN LITERASI

Hari ini, jika bukan karena teluh matamu
aku mungkin sudah meminjam panas matahari
untuk membakar tubuhmu. Tetapi, karena
surut matamu menjelma teluh, aku bisa
berkata –terus tak berkata-kata. Hanya bisa
berwirid dengan lemas kaki, dan jejari kaki telanjang.

Bukan karena apa, siapa, kususuri pelayaran ini
menaklukkan samudera karena kumengerti
pelaut besar hanya lahir dari gelombang besar.
Aku belajar mengayuh dayung, meski kaupukul-pukul
dengan godam rasa yang memporandakan indah
jiwa menjelma air mata tiba-tiba.
Mata air air mata!

Bukan karena siapa, aku harus kemari. Atas nama apa
dan atas nama siapa aku bersimpuh di kaki-kaki luka
dengan wirid duka. Tamasya literasi kali ini
seperti parade militer dengan selusin peluru
yang menembaki jiwaku. Mungkin, kamu lupa, literasi itu
tidak bisa dibeli dengan setriliun rupiah sekalipun
jika hati tak putih, mata tak jernih.

Jember, 2021

(*/Aming Aminoedhin)

Editor: DAD

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *