Melihat Daniel dari Pekarangan Islam, Itu Sudah Cukup
KEMPALAN: Daniel Tetangga Kamu, nama podcast dari Daniel Mananta. Podcast yang digarap cukup serius. Biasa jika ia mendatangi obyek yang diundang dalam podcastnya. Tapi kadang tamu yang diundangnya, ngobrol santai di rumahnya.
Saya tidak terlalu mengakrabi podcastnya. Setidaknya dua kali membukanya, saat tamu Daniel adalah Marcell Siahaan, penyanyi pop dan R&B berkepala plontos. Dan, Dewi Sandra, seorang artis dan model.
Saya mampir di Daniel Tetangga Kamu, karena dua figur yang diundangnya itu, yang secara intelektual dikenal oke. Dua artis yang punya pemikiran berkelas, yang jarang dimiliki mereka yang terbiasa di dunia keartisan. Marcell adalah mualaf, pribadi yang tak henti mencari Tuhan. Sampai perlu pindah agama beberapa kali. Pencarian yang sepertinya diakhiri, setelah ia temukan Islam.
BACA JUGA: Solilokui Nana
Daniel pun berkelas dalam bertanya, bahkan tak tabu mengorek hal cukup dalam, dari mulai hal pribadi sampai pilihan agama. Sedang Dewi Sandra, perempuan blasteran bapak Inggris dengan ibu Indonesia. Dewi Sandra pun terbilang artis yang awalnya jauh dari agama. Bahkan pernah nikah dengan beda agama, meski lalu cerai. Islam yang memang sudah jadi agamanya akhirnya menariknya dalam “pelukan”, ia hijrah. Berhijab dan taat dalam agamanya.
Podcast yang masing-masing dibuat lebih kurang satu jam, rasanya tidak terasa. Karena apa yang ditanya Daniel dijawab dua artis tadi dengan jawaban berkelas, bahkan jawaban filosofis dan sufistik sering dimunculkan. Jawaban tidak biasa. Tidak sekadar menjawab normatif ala kadarnya.
Hobi membaca buku yang cukup, bisa jadi yang menjadikannya lulus saat berproses “berpetualang” mencari Tuhan, itu bagi Marcell. Sedang bagi Dewi Sandra, menjadikannya mampu menemukan Islam yang hilang dari dirinya.
Tulisan ini tentu tidak untuk membahas dua artis di atas. Hanya ingin jadikan pintu masuk membincang Daniel Mananta, pemilik podcast Daniel Tetangga Kamu, yang terkesan akhir-akhir ini coba bermain “di pelataran” Islam.
Daniel Mananta, merupakan presenter kenamaan. Menjadi surprise saat ia mengundang Ustad Abdul Somad (UAS) di podcastnya. Obrolan penuh kehangatan yang dibangun dua orang berbeda keyakinan. Mulai dari masa kanak-kanak UAS, soal ibadah, dan soal perempuan yang dipilih UAS jadi jodohnya.
BACA JUGA: Keren Ning Imaz
Keakraban keduanya tidak berhenti saat podcast itu selesai dan mengudara. Tapi perlu dilanjut pada momen pertemuan berikut dari keduanya–ini tidak pernah dilakukan Daniel dengan tamu lain yang diundangnya–itu terjadi saat Daniel memenuhi undangan UAS, di Kampar, Riau. Tampak momen di mana Daniel serius mengikuti kajian Kitab Riyadhus Shalihin, yang diasuh UAS ba’da shubuh di Masjid Jami’ Baitturahman, (9 Oktober).
Momen menyantap hidangan durian, yang dihidangkan tuan rumah. Juga momen keduanya dalam foto masing-masing bersama istri, juga ditampilkan Daniel di Instagramnya. Momen-momen kebersamaan, itu yang memunculkan panjatan doa kalangan warganet, agar Daniel bisa secepatnya memeluk Islam.
Doa kebaikan yang tidak salah, tapi biarkan Daniel berproses melihat Islam dari pekarangannya dulu saja, sebelum memasuki rumah Islam sebenarnya. Biarkan saja jika Daniel ingin melihat Islam yang sebenarnya, dan itu lewat petualangan intelektualnya mencari kebenaran, sebagaimana Marcell lakukan dulu. Maka, tidak perlulah berandai-andai berlebihan. Cukup lihat itu bagian dari toleransi yang dibangun keduanya dengan indahnya. Perbedaan agama di antara mereka bukan halangan membangun komunikasi saling mengenal, yang memunculkan saling menghormati. Daniel dan UAS bisa jadi contoh toleransi sebenarnya.
Daniel, atau siapa saja yang coba mencari kebenaran sesungguhnya, bisa jadi akan disapa Tuhan pada waktunya dengan hidayah. Memang tidak semua mendapat hidayah, itu urusan-Nya. Daniel bisa mendapatkan, tapi juga bisa tidak mendapatkannya. Terpenting, bagi kita yang sudah menggenggam hidayah, jaga erat-erat. Jangan pernah melepasnya untuk tujuan dunia yang sementara.
Daniel Mananta dan UAS berhasil menghadirkan oase kehidupan kebersamaan dan kedamaian di negeri ini, di tengah suasana pembelahan kepentingan politik hadir dengan begitu ganasnya. Menghadirkan optimisme, masih ada kebaikan dan kedamaian di negeri ini, in Syaa Allah. Dua orang itu setidaknya mengajarkan toleransi sebenarnya, tanpa perlu teriak-teriak sebagai orang paling toleran dan nasionalis. (*)