Revitalisasi Hattanomics
KEMPALAN: Selama 50 tahun terakhir Republik ini menyaksikan pergeseran dari ekonomi kapitalis awal sejak Orde Baru, kapitalisme semu (Yoshihara, 1988) lalu neo kapitalisme sejak penggantian UUD45dengan UUD2002. Peranan investasi asing semakin besar, demikian juga hutang pemerintah, BUMN maupun swasta.
Dalam suasana perang dingin, Wijoyo Nitisastro sebagai ekonom berpendidikan Barat membuka jalan bagi ekonomi yang berkiblat ke Barat yang ditandai liberalisasi pasar dan kehadiran investasi asing ke Indonesia, termasuk dan terutama ke sektor pertambangan dan energi. Secara perlahan, Indonesia berubah dari negara agraris menjadi negara industri dengan industrialisasi sebagai mesin pertumbuhan.
Dengan mengutamakan stabilitas, instrumen sosial yang penting dalam mendukung kebijakan ekonomi ini adalah persekolahan massal paksa (Card, Angrist, and Imbens 2021) dan televisi. Pendidikan direduksi menjadi persekolahan untuk menghasilkan buruh trampil menjalankan mesin2 pabrik, sekaligus dungu untuk bekerja bagi kepentingan pemilik modal. Pendidikan diubah menjadi instrumen teknokratik, bukan platform untuk mewujudkan prasyarat budaya bagi bangsa yang merdeka.
BACA JUGA: Buang Limbah ke Laut? Itu Tindakan Amoral
Ekonomi Indonesia kemudian dikuasai oleh segelintir kapitalis China yang sejak zaman Belanda telah memperoleh perlakuan istimewa sehingga mampu memanfaatkan liberalisasi pasar untuk mengakumulasi modal yang sangat besar. Kemampuan kelompok China ini sebagian disebabkan karena aset2 milik kolonial Belanda telah dikelola oleh kelompok China (Claver, 2014).
Kedekatan Soeharto pada kelompok China kemudian dikoreksi oleh Ginanjar Kartasasmita atas persetujuan Soeharto sendiri dan Golkar sebagai partai penguasa. Persekolahan massal paksa secara perlahan justru mengurangi kekuatan kelompok pengusaha pribumi yang sebagian besar semakin lebih menekuni berbagai profesi seperti dokter, insinyur, pengacara, arsitek, akuntan, dan pegawai negeri, BUMN dan MNC. Etos kesaudagaran di kalangan pribumi menurun terus hingga hari ini.
Dari Kapitalis Semu ke Neokapitalisme
Program Wijoyo yang liberal hampir tidak mungkin melahirkan pengusaha pribumi yang mampu menandingi kelompok China. Kita kemudian mencatat Langkah afirmatif Ginanjar telah melahirkan kapitalis pribumi seperti keluarga Bakri, Medco, Gobel, Sahid dan Bimantara, serta Transcorp untuk menyebut beberapa saja. Seiring tekanan liberalisasi pasar dan keuangan, kelompok pengusaha pribumi ini makin besar menjadi konglomerasi baru namun rapuh. Ini seperti yang telah dilakukan oleh Mahathir.
>
Indonesia sempat disebut sebagai macan atau keajaiban Asia, mendahului kebangkitan China (Campos dan Root, 1996). Kerapuhan itu terbukti saat krisis moneter mendera ASEAN (mulai Thailand dan Indonesia) sehingga nilai Rupiah terpuruk terdepresiasi tajam menjelang kejatuhan Soeharto pada 1998.
