Menghapus Prestasi Anies, Ibarat Menghapus Bintang di Langit
KEMPALAN: Ketidaksukaan pada seseorang, itu mampu membunuh akal sehat. Apa saja yang dihasilkan dari buah pikir, hal-hal kebaikan sekalipun, coba dinafikan dengan berbagai cara.
Ketidaksukaan yang didasarkan pada motif tertentu, itu bukan tanpa sebab. Sedang soal motif ada yang tampak benderang–bisa didekati dengan pisau analisis–tapi ada yang tersamar. Meski demikian, tetap saja ada motif di sana dimunculkan.
Misal, motif yang berdasar politik acap menyerang kepentingan seseorang, atau pihak tertentu. Pada kasus satu dengan lainnya tentu bervariatif. Bisa dilihat bahkan diukur seberapa kuat dan besar kasus itu mengusik kepentingan kelompok lainnya.
Semakin kasus itu punya bobot politik kuat dan besar, maka tekanan pada pihak lain–pihak yang dikesankan sebagai lawan politik–dilakukan dengan keras dan bahkan kasar.
Anies Baswedan jadi pihak yang dikesankan sebagai lawan politik bagi kepentingan oligarki. Itu kesan yang muncul dan ditangkap masyarakat. Kesan yang tentu tidak berdiri sendiri, ada sebab musababnya.
Jika muncul kesan susulan lain, bahwa istana jatuh dalam penguasaan oligarki, itu tidaklah bisa disalahkan. Terlihat kasat mata “penekanan” istana pada Anies begitu kuatnya. Dilakukan begitu masif dan susul-menyusul. Seolah seluruh kekuatan yang ada dikerahkan untuk itu.
BACA JUGA: Jakarta Dibangun dengan Gagasan, Tidak Sekadar Kerja Model Mandor
Sebagai Gubernur DKI Jakarta, bahkan setelah purna tugas tekanan bukannya berhenti. Kasus Formula E dimunculkan, meski tidak ditemukan unsur korupsi di sana–Anies tidak lalu membalas berbagai serangan yang muncul. Anies pantang membalas serangan dengan serangan. Membiarkan saja, tak sedikit pun merespons. Anies piawai dalam mengontrol emosi. Tak sudi emosi terkuras pada hal-hal bukan prinsip.
Anies cukup membalas dengan kerja produktif dalam menyelesaikan amanah yang diberikan warga Jakarta. Bekerja dalam senyap seperti jadi pilihannya. Abai pada serangan para influencer, yang seperti dihadirkan untuk itu.
Karenanya, tidak sebatas warga Jakarta bisa melihat apa yang dihasilkan Anies dengan kerja kolaboratifnya dalam membangun sarana dan prasarana dalam berbagai bidang. Berbagai karya diwujudkan, selalu dikerjakan lewat gagasan dan narasi. Bukan kerja ujug-ujug sekenanya.
Upaya Menghapus Bintang di Langit
Bintang di langit mustahil bisa dihapus, meski awan mengganggu menutup dari pandangan, atau matahari menutup dengan sinar terangnya. Tetap saja bintang akan menyembul saat cuaca cerah di malam hari, entah berapa banyak jumlahnya.
Mustahil pula bintang di langit bisa dihitung jumlahnya dengan mata telanjang. Itu bisa dianalogikan dengan prestasi yang dihadirkan Anies Baswedan. Mencoba menghapus legacy beragam yang ditinggalkan Anies Baswedan selaku Gubernur DKI Jakarta–meski terkesan berlebihan–itu bisa diserupakan menghapus bintang di langit. Ilustrasi dengan analogi, itu bukanlah perbuatan terlarang.
Terlalu banyak prestasi dibuat Anies Baswedan dan Pemprov DKI Jakarta, jika itu disebutkan satu persatu. Menjadi pantas jika penghargaan demi penghargaan didapat. Maka menjadi mustahil coba menghapus karya yang begitu beragam ditinggalkan Anies di Jakarta.
Setidaknya tidak kurang 37 penghargaan didapat Anies dan Pemprov DKI Jakarta, atau bisa jadi jumlahnya lebih dari itu. Bolehlah beberapa penghargaan bisa disebutkan di sini sekena dan seingatnya.
Sustainable Transport Award 2021. Sebuah penghargaan pada Program Integrasi Antarmoda Transportasi Publik. Transportasi yang terintegrasi dengan TransJakarta, JakLingko, MRT, LRT, yang bisa dirasakan warga Jakarta sebagai sarana transportasi yang murah, aman dan nyaman.
BACA JUGA: Ganjar dan Anies dalam Karya, Analogi Sederhana Hensat Mencari Presiden
Tidak cukup di situ, perlu pula disertakan pembangunan sarana penunjang lain, berupa trotoar complete street, yang tidak cuma ditemui di jalan-jalan utama saja. Pembangunan trotoar yang lebar dan nyaman untuk pejalan kaki, yang bisa ditemui dihampir jalan yang dilalui angkutan moda transportasi massal. Konon trotoar yang dibangun mencapai 265,72 km. Pembangunan trotoar dengan capaian bentangan yang panjang, itu tentu rekor tersendiri. Fantastis.
Jakarta pun mendapat penghargaan sebagai kota ramah sepeda se-Indonesia. Itu bagian dari target yang dicanangkan Jakarta dalam penurunan emisi gas rumah kaca sebesar 30% pada tahun 2030. Sekaligus penurunan emisi gas rumah kaca itu bisa diterima langsung sebesar 50%. Diharap Jakarta nantinya bisa net zero emissien di tahun 2050.
Pengguna sepeda dibangunkan ruas jalan tidak kurang dari 103 km. Pembangunan ruas sepeda itu seperti tidak mungkin bisa dilakukan di Jakarta, mengingat kepadatan lalu lintasnya. Tapi Anies mampu mewujudkan, itu seperti mimpi jadi nyata. Memanjakan pengguna sepeda, meski hanya sebatas sarana berolahraga di akhir pekan, dan lebih-lebih lagi pada mereka yang beraktivitas menggunakan sepeda sebagai sarana transportasi.
Revitalisasi dan dibangunnya Jembatan Penyeberangan Orang (JPO)–14 JPO baru dibangun–dengan jumlah tidak sedikit. Bukan sekadar sarana penyeberangan orang saja, tapi menghadirkan jembatan penyeberangan yang tampil mempesona, memperindah kota Jakarta. Gemerlap lampu berpendaran jadi penghias kota, yang seperti terus menggeliat dengan dinamikanya. Tidak perlu disebutkan JPO apa saja yang dibangun dan direvitalisasi Anies selama menjabat sebagai gubernur. Jejaknya bisa dilihat, dan dihitung satu persatu jika berkehendak. Tapi sayang lampu-lampu berpendaran di JPO, setelah Anies purna tugas, tampak dibuat minim. Dibuat biasa-biasa saja. JPO itu dibuat tidak instagramable lagi.
Tak bokeh ketinggalan bisa disebut di sini, Anies dan Pemprov DKI menghadirkan penataan pemukiman di 5 lokasi Kampung Susun. Terdiri dari 12 blok, atau 472 unit. Hadir juga hunian vertikal dengan DP Nol Rupiah, terdiri dari 6 tower, atau 2.332 unit. Dan pembangunan Rusunawa yang berada di 12 lokasi (33 tower), atau terdiri dari 7.421 unit.
Pembangunan di Jakarta yang dihadirkan Anies selalu bersandar pada sila ke-5 Pancasila: keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Artinya, pembangunan tidak hanya diperuntukan dan menguntungkan kelompok tertentu saja. Semua warga Jakarta memiliki hak yang sama atas pembangunan yang ada.
Terakhir bolehlah disebut, dihadirkannya Jakarta International Stadium (JIS). Stadion megah bertaraf internasional sebagai markaz tim sepak bola Persija. Meski stadion itu belum dioperasionalkan semestinya–ada tangan PSSI dan tangan raksasa lain di baliknya menghalangi stadion itu bisa digunakan dengan alasan yang diadakan dibuat-buat. Tidak lain karena JIS karya Anies Baswedan, yang coba dinafikan.
Pada waktunya pastilah stadion itu akan dipakai juga, namanya bisa jadi akan dirubah dengan nama lain, upaya keras yang lain menghapus karya monumental yang ditinggalkan Anies–seperti juga Gelora Bung Karno (dahulu Gelora Senayan) warisan yang ditinggalkan Ir. Soekarno, itu mustahil dihilangkan dari jejaknya. JIS, atau apapun nama nantinya yang dipakai, tidak mungkin bisa menghilangkan nama Anies Baswedan di sana. Ada jejak paten di sana yang mustahil dihapus.
Beragam karya yang ditinggalkan Anies, itu terdokumentasi dengan baik. Jejaknya mudah didapat. Maka menghapusnya, itu perbuatan sia-sia, pastilah kerja ugal-ugalan–merugikan hak-hak masyarakat. Selaku Pj. Gubernur DKI, Heru Budi Hartono, mestinya berpikir baik dan positif. Menjaga warisan kebaikan yang ditinggalkan gubernur sebelumnya. Semua mata warga se-republik, bukan cuma warga Jakarta menyorotnya. (*)