Sumpah Pemuda dan Sastra Indonesia

waktu baca 5 menit
Penulis foto bersama dengna para siswi.

KEMPALAN: BARU saja kita peringati Hari Sumpah Pemuda yang ke-94, pada 28 Oktober 2022 lalu, dan hampir seabad para pemuda Indonesia itu bersumpah. Di antaranya, pada salah satu item sumpah itu berbunyi: menjunjung tinggi bahasa persatuan dengan bahasa Indonesia.

Namun demikian pengajaran bahasa Indonesia di sekolah, barangkali kita semua tahu, hanya berapa jam pelajaran diajarkan oleh para guru kepada peserta didiknya. Lalu pelajaran sastra adalah bagian kecil dari pelajaran Bahasa Indonesia. Mereka para gurunya, lebih banyak mengajarkan tata bahasanya, dibanding sastra. Di samping itu (mungkin?) para guru Bahasa Indonesianya tidak suka sastra atau tidak bisa mengajar sastra.

Selama ini, sekolah selalu mengedepankan para siswanya untuk selalu berprestasi dalam hal Olympiade Matematika, IPA, Biologi, dan Fisika. Mereka selalu dipacu untuk mengikuti kegiatan semacam ini secara bersungguh-sungguh, bahkan dibiayai berapapun dananya. Seakan-akan program ini merupakan program utama yang bisa mendongkrak nama baik sekolah. Bahkan biasa ditargetkan agar bisa menang lomba.

BACA JUGA: Sastra Jawa di Jawa Timur

Tapi ketika bicara soal seni, apa lagi mata pejaran bahasa, yang di dalamnya ada seni sastra (prosa, puisi, dan drama); kecenderungannya selalu dianaktirikan oleh sekolah. Biaya seadanya, dan tidak menjadi prioritas utama. Bisa menang lomba bersyukur, jika tidak juga tidak apa-apa.

Padahal bahasa dan keutuhannya, menurut Fuad Hassan (mantan Mendikbud) dapat meninggalkan jejak-jejak yang selanjutnya berpengaruh dalam perkembangan peradaban manusia. Dengan kata lain, lanjut Fuad Hassan, perkembangan suatu bahasa sebagai sistem seutuhnya – termasuk fungsinya sebagai medium ujaran dan manifestasi kesastraannya – turut menentukan sifat dan tingkat perkembangan peradaban yang dicapai oleh masyarakat penggunanya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *