Politik Mahar VS Politik Gagasan
KEMPALAN: PERBINCANGAN mengenai Demokrasi nampaknya menjadi sesuatu yang menarik. Karena praktik demokrasi di sebuah negara sering mengalami pasang surut.
Paska Reformasi, demokrasi mengalami masa masa yang cukup baik, setelah hampir 30 tahun demokrasi kita terengut dengan otoritarianisme Orde Baru. Namun sayangnya, dalam perjalanannya setelah amandemen UUD tahunnya 2022, demokrasi kita mengalami masa masa yang liberal dan partai politik menjadi pemegang kedaulatan.
Dampak dari demokrasi yang sangat liberal ini adalah harga demokrasi kita ditentukan oleh seberapa banyak mahar yang dikeluarkan. Hanya mereka yang berduit sajalah yang akan mampu merebut simpati rakyat. Pada akhirnya kualitas seseorang menjadi tak penting, keterpilihan seseorang ditentukan oleh banyaknya isi tas yang dimiliki dan diberikan.
BACA JUGA: Senyum Anies Adalah Senyum Perubahan
Reformasi yang isu besarnya adalah memberantas KKN, dalam perjalanannya hanya memindahkan arena korupsi dari birokrasi kepada semua masyarakat. Sehingga korupsi tidak lagi parsial – parsial disebuah tempat, tapi hampir disemua tempat.
Praktik demokrasi seperti inilah yang disebut oleh Levitsky dan Ziblatt, professor ahli politik, penulis buku “How Democracies Die” sebagai politik yang kehilangan rambu. Politik yang menabrak aturan aturan yang ada, baik itu yang tertulis maupun yang tidak tertulis.