Anies dan Panggung yang Dihadirkan

waktu baca 3 menit

KEMPALAN: Ungkapan mencari panggung, itu bisa pula disebut mencuri panggung. Bukanlah hal asing di telinga. Bermakna lebih pada mencari kesempatan tuk tampil, meski dengan kemampuan serba terbatas. Tak masalah meski dengan gaya kedodoran. Kemunculan yang pantas jadi gunjingan olok-olok.

Mencari atau mencuri panggung lebih pada tiadanya panggung tersedia, yang memang dikhususkan untuknya. Mencari panggung–silahkan saja jika selanjutnya mau disebut mencuri panggung–meski tanpa penonton mengitari dan suara sorak-sorai membahana. Buatnya tak menjadi masalah. Baginya itu sudah cukup, meski menanggung beban terus dibicarakan dengan tidak seharusnya.

Mencari panggung bisa mengena pada siapa pun, yang tak siap membangun panggungnya sendiri. Bisa politisi, bisa pula manusia kebanyakan lainnnya, yang memenuhi syarat tak punya rasa malu sedikit pun jika mesti disebut sang pencuri panggung.

BACA JUGA: Semua Akan Anies Pada Waktunya

Diberbagai panggung “ngamen” biasa muncul seseorang menjajakan diri. Jika tak tepat panggung itu dinaiki, maka gunjingan buruk akan di dapat. Tidak itu saja, teriakan huu… tanda hadirnya tak diinginkan bermunculan menghempaskannya.

Kehadiran politisi dengan mencari atau mencuri panggung untuk eksistensi diri jadi pemandangan tiap hari muncul, memuakkan. Tidak sedikit coba meniru gaya politisi mapan yang sudah diterima publik selayaknya, pertanda eksis pada panggungnya sendiri.

Meniru-niru gaya politisi yang sudah mapan dengan kepribadiannya, itu bermakna sama dengan mencuri panggung. Muncul adegan tak biasa, yang dipaksa menyerupai politisi yang memang tampil dengan kepribadiannya. Gelih lihat tingkahnya, yang tampil bak badut sirkus keliling ke sana kemari menjajakan diri.

Mencuri panggung dihadirkan di sini tentu sebagai ilustrasi, bukan “panggung” dalam makna sempit, layaknya artis menghibur di pentas hiburan. Bukan itu yang dimaksud. Tapi lebih pada pemimpin hadir tebar pesona–biasa pula disebut pencitraan–dengan kepribadian tidak semestinya. Diri tampil dengan adegan absurd menggelikan.

BACA JUGA: Sikap Elegan Anies

Anies Baswedan, mantan Gubernur DKI Jakarta, yang sudah dipinang Partai NasDem sebagai calon presiden (capres) 2024, bukanlah pemimpin yang mengandalkan gaya pencitraan. Anies tidak perlu sampai mencari panggung. Anies memiliki panggungnya sendiri, dan itu lebih pada gagasan yang mampu dinarasikan dengan baik. Karenanya, yang muncul adalah karya yang bisa dinikmati.

Anies mampu membuat panggungnya sendiri, yang menghadirkan elektabilitas tinggi tanpa perlu setingan dengan segala cara dimungkinkan. Semua karya dimulai dengan gagasan, narasi, dan kerja. Itulah intelektualitas Anies Baswedan.

Panggung Anies itu bisa disebut pula intelektualitas menghadirkan elektabilitas tinggi. Menyajikan karya menawan, yang bisa dinikmati warga Jakarta. Jika panggung Anies lalu muncul di mana-mana–simpul relawan yang sulit dihitung berapa banyak jumlahnya–itu boleh juga disebut panggung-panggung menanti untuk disinggahi.

Sepertinya hanya Anies yang memiliki panggungnya sendiri untuk “berpentas” menyapa warga tidak sebatas Jakarta, dan itu dimungkinkan. Pentas menuju 2024 memang masih panjang dan berliku, tapi setidaknya Anies sudah membuat panggungnya sendiri berkolaborasi dengan para pendukungnya, yang berharap ke depan ia yang akan memimpin negeri ini. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *