Sakit Niluh di Geliat Anies

waktu baca 4 menit

KEMPALAN: Tidak banyak yang mengenal Niluh Djelantik, kecuali komunitas terbatas–dunia persepatuan dengan segmen tertentu. Ia memang pengusaha sepatu di Bali. Maka, jika Anda tidak mengenalnya, dan baru mengenal karena ia secara demonstratif menyatakan mundur dari Partai NasDem, itu bukan hal yang mengherankan.

Seseorang terkadang bisa lebih dikenal, atau bisa menjadi sesuatu, jika melakukan hal yang dianggap bisa mencengangkan khalayak luas. Padahal yang dilakukan, itu hal biasa saja. Atau dalam narasi lain, seseorang terkadang menjadi lebih dikenal luas, jika mau melakukan perlawanan pada sesuatu yang sudah jadi kesepakatan. Melawan arus, bahkan melawan akal sehat.

Niluh Djelantik menyatakan mundur dari NasDem, itu haknya. Seperti saat dia tiga tahun silam bergabung–duduk sebagai salah satu Ketua Bidang UMKM–itu juga pilihannya. Memilih masuk dan tetap didalam, atau memilih berada di luar itu hal biasa dalam satu organisasi kepartaian, atau pada bidang kerja profesional sekalipun.

BACA JUGA: Paloh, dan Harapan Hadirnya Presiden Sebenarnya

Tidak banyak yang tahu sebelumnya jika Niluh itu bergabung di NasDem. Artinya, ia politisi NasDem. Sebagai politisi, sepertinya ia kurang ambil peran. Hampir suara pembelaannya pada kehidupan wong cilik tidak terdengar. Publik baru tahu tentangnya, saat ia menyatakan diri memilih keluar dari NasDem, dan itu tersiar lewat Instagram pribadinya. Maka, alasan boleh dibuat sesukanya, bahkan meski harus menyambar ketidaksukaan pada seseorang.

Publik dibuat menjadi lebih tahu, alasan yang dibuat mengapa ia keluar dari NasDem. Dan, itu setelah NasDem mendeklarasikan Anies Baswedan sebagai Capres 2024, Niluh memilih meninggalkan NasDem. Ada masalah apa sebenarnya Niluh itu dengan Anies Baswedan. Darinya kita dibuat tahu meski samar, mengapa ia memilih keluar dari NasDem.

Niluh memang belum melayangkan surat resmi pengunduran dirinya, hal yang selayaknya dilakukan. Pamit baik-baik mestinya jadi tata krama keadaban. Datang disambut baik, tapi malang jika pergi tanpa kesan baik ditinggalkan. Niluh seperti lebih memilih cara demonstratif, agar gema ia keluar bisa punya nilai. Punya arti. Niluh ingin menampakkan, bahwa sikap yang dipilihnya itu bagian dari idealisme, bahkan jadi ideologi yang mesti dilakukan.

Ketidaksukaan Niluh pada pilihan NasDem mencapreskan Anies Baswedan, itu boleh-boleh saja. Tapi pilihan NasDem sebagai sebuah partai tentu sudah melalui kalkulasi pertimbangan. Niluh memilih mundur, tentu itu jadi kebaikan bersama. Pasti juga tidak membuat NasDem jadi oleng bukan kepalang. Pilihan NasDem yang tidak disuka Niluh, itu justru berkebalikan dengan publik yang mengapresiasi Deklarasi Anies Capres NasDem, itu ditampakkan dengan berbondong hadirnya anggota baru NasDem.

Sebagaimana disampaikan Wakil Ketua Dewan Pakar NasDem, Peter F. Gontha, bahwa keluarnya Niluh bukanlah sesuatu bagi NasDem. Bahkan tidak menimbulkan sesuatu. Sebab pada hari yang sama, katanya, Senin (3/10), ada 3.620 orang mendaftar sebagai anggota baru NasDem. Salah besar jika geliat beberapa kader partai, termasuk Niluh, itu membuat NasDem jadi bermasalah.

BACA JUGA: Paloh Pintar, (Seolah) Menjadikan Anies Is My Man

Ada lagi statemen yang disampaikan Wakil Sekjen DPP Partai NasDem, Hermawi Taslim–bisa disebut klarifikasi NasDem terkait mundurnya Niluh Djelantik. “Saya pikir lebih baik begitu ya, karena Niluh selama ini juga kan tidak berbuat apa-apa untuk partai, tidak ada aktivitas apapun. Jadi, mundur pilihan yang paling pas buat Niluh.”

Niluh Djelantik, jika dilihat jejak digitalnya, memang pengagum berat Joko Widodo (Jokowi). Bisa dibilang mati urip meluh Jokowi. Siapa yang “bersinggungan” dengan Jokowi, itu bisa jadi musuh buat Niluh. Maka sebagai politisi pantas Niluh “bisu” tak berauara, jika menyangkut kebijakan rezim yang bahkan memberatkan rakyat.

Anies Baswedan yang dikesankan “berhadapan” dengan Jokowi pun lalu menjadi pihak yang tidak disuka Niluh. Bisa jadi Surya Paloh pun yang memilih sikap berbeda dengan istana soal capres yang digadangnya, juga akan disikapi sama, meski tidak terang-terangan mampu disampaikan. Maka pilihan memilih mundur dari NasDem, yang sampai Niluh perlu menggeret Anies Baswedan sebagai pokok persoalan.

Niluh dan orang semacamnya akan kesulitan bisa melihat Anies dengan mata-hati sebenarnya. Maka, persoalan Pilkada DKI Jakarta (2017) jadi alasan yang tak bisa terima Anies. Niluh tetap menuduh Anies memenangkan Pilkada dengan politik identitas. Itu terus jadi senjata andalan menstigma Anies buruk.

Niluh dan para influencer, sampai kapan pun, tetap saja berakrab menarasikan politik identitas itu sekenanya. Tak ada narasi lain bisa dikembangkan mampu menggebuk Anies. Niluh tak hendak move on. Seolah memilih tidur panjang, tak hendak siuman barang sebentar. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *