Anies Menghidupkan Kembali Mahbub Djunaidi

waktu baca 5 menit

KEMPALAN: Generasi Z saat ini bisa jadi tidak banyak yang mengenal Mahbub Djunaidi, meski hanya sekadar nama. Padahal Mahbub, biasa ia dipanggil, adalah jurnalis sekaligus sastrawan yang punya warna beda. Dikenal juga sebagai kolumnis handal. Setidaknya generasi 70-90 an mengenalnya cukup baik.

Mahbub kolumnis yang punya warna tersendiri dalam setiap tulisannya. Materi tulisan berat ditangannya dibuat ringan, namun tetap bertenaga. Terkadang ia selipkan canda segar, yang buat pembaca tulisannya senyum simpul oleh olah permainan kata yang dibuatnya. Narasi bersayapnya mampu buat pembacanya asyik terbuai.

Mahbub menyajikan tulisannya dengan gaya tidak umum. Tidak semacam penulis kebanyakan, yang lurus-lurus saja, serius dan kadang melelahkan, atau kalau tidak mau disebut membosankan.

Gaya bertutur Mahbub dalam tulisannya bisa dikatakan sealur dengan Art Buchwald, kolumnis Amerika kesohor, yang menulis kolom rutin di Washington Post. Art Buchwald memang idola Mahbub, disamping Mark Twain dan George Orwell.

Dua pekan sekali setidaknya tulisan Mahbub tampil di MBM Tempo, dan sepekan sekali pada hari Minggu, esainya hadir di koran Kompas dalam rubrik Asal-Usul –beberapa kumpulan esai itu dibukukan penerbit Kompas, dengan judul yang sama, Asal-Usul.

Sulit mendahulukan Mahbub itu lebih sebagai seorang jurnalis atau sastrawan. Namun setidaknya dua novel karyanya cukup menyita pemerhati dunia sastra–novel Dari Hari Ke Hari (Dunia Pustaka Jaya, 1975), dan Musim Berganti (Idayu, 1985), novel yang ditulisnya di penjara, sebagai tahanan politik rezim Orde Baru (1978).

BACA JUGA: Sikap Elegan Anies

Setidaknya sastrawan Satyagraha Hoerip beri kesaksian, bahwa Mahbub itu sudah aktif menulis karya sastra cerpen di majalah Siasat, setidaknya dari 1954 sampai 1958. Majalah Siasat kala itu jadi jujugan para penulis sastra, sangat prestisius.

Sedang kritikus sastra HB Jassin menyebut Mahbub Djunaidi, sebagai pengarang sastra dengan menggunakan gaya pendekatan tersendiri, yang dipengaruhi lingkungannya. Tambahnya, gaya penulisan Mahbub itu perpaduan antara jurnalistik dan sastra.

Suatu saat, tulisan esai Mahbub di koran Kompas, dalam rubrik “Asal-Usul” itu menghilang, itu karena ia jatuh sakit. Ia terserang stroke. Saat tubuhnya sudah sehat lagi, ia tetap melaksanakan kewajiban tiap pekan rutin mengirimkan esainya.

Sampai pada saatnya… esai yang biasa ditulisnya di mesin ketik manual, itu belum selesai, baru ditulis tidak lebih dari setengahnya saja. Belum jelas ending-nya ke mana. Mahbub tidak sanggup meneruskannya, ia ambruk. Beberapa hari kemudian membawanya ke kematian.

Mahbub lahir di Jakarta, 27 Juli 1933. Dan meninggal di Bandung, 1 Oktober 1995. Dalam usia 62 tahun. Usia yang sebenarnya masih bisa lebih produktif lagi. Tapi takdir berkata lain.

Jakob Oetama (Pendiri Kompas) yang takziah ke rumah duka menanyakan, apa ada titipan tulisan terakhir yang ditulis Mahbub? Sang istri, Hj Hasni Asjmawi Djunaidi, menunjukkan tulisan Mahbub yang belum selesai. Pak Jakob membawa tulisan yang belum selesai itu, dan esai itu tetap dimuat Kompas di rubrik “Asal-Usul” sebagai penghormatan terakhir pada Allah Yarham.

Para Tokoh Betawi yang Layak Dikenang

Mahbub dikenal juga sebagai politisi dari Partai Nahdatul Ulama–saat NU masih sebagai partai politik. Setelah fusi partai dihadirkan rezim Orde Baru, maka NU melebur bersama partai-partai Islam dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Setidaknya Mahbub pernah menjadi Wakil Sekjen PPP, dan anggota DPR-RI.

Pernah kuliah di Fakultas Hukum UI, tidak sampai tamat. Aktif di HMI, setelah itu keluar, dan ia bersama kawan-kawannya mendirikan PMII. Mahbub jadi Ketua Umum pertamanya. Juga sebagai Pimpinan Redaksi (Pimred) Duta Masyarakat (1960-1970), koran corong Partai Nahdlatul Ulama kala itu.

Duta Masyarakat, saat itu disebut sebagai satu-satunya koran yang membela pikiran-pikiran Pramoedya Ananta Toer. Sebenarnya itu lebih pada sikap Mahbub, yang memang mewarnai Duta Masyarakat. Mahbub tidak perdulikan suasana politik saat itu. Masa di awal Orde Baru, yang tidak ada ruang bagi pikiran “kiri”.

Suatu waktu dengan enteng Mahbub katakan, semacam sikap pembelaannya pada Pram. Katanya, Sastrawan yang memusuhi Pram saat itu, lebih lantaran tidak bisa bersaing sehat dengan karya sastranya. Jadinya yang muncul permusuhan personal yang tidak sehat. Mahbub tentu bukanlah penganut paham kiri. Hanya pengagum Pram, yang lalu membelanya.

Saat sebagai Pimred Duta Masyarakat, Mahbub didapuk juga sebagai Ketua Umum PWI Pusat (1965-1970). Menakhkodai organisasi wartawan di era transisi dari Orde Lama ke Orde Baru, itu bukan perkara mudah. Mahbub berselancar antara pandangan politik pribadinya, dan penyelamatan organisasi yang mesti jadi perhatian utama.

Mahbub memang lelaki penuh warna. Lelaki memukau. Tidak banyak yang menyamainya. Ia punya kekuatan menulis dan bicara sama baiknya. Lelaki penuh warna ini coba “dihidupkan” Anies Baswedan. Di mata Anies, Mahbub Djunaidi dan tokoh Betawi lain, punya hak untuk dihidupkan namanya, agar tetap dikenang.

BACA JUGA: Pandji dan Alasan Pilihan Politiknya: Keren

Maka bersama 22 legenda Betawi lainnya–mulai ulama, tokoh budaya/lenong, bintang film, jurnalis dan sastrawan, penyanyi dan pengarang lagu melayu–nama Mahbub pun ada di situ, yang ikut dihidupkan.

Anies membuat kebijakan “menghidupkan” tokoh dan legenda Betawi untuk tetap dikenang, dan itu diabadikan jadi nama jalan. Lewat Keputusan Gubernur No 565, Tahun 2022, sebanyak 22 nama jalan di Jakarta diganti dengan nama tokoh yang berlatar Betawi asli.

Jalan Mahbub Djunaidi, itu pergantian nama dari jalan sebelumnya Jalan Srikaya (kawasan Kebon Sirih, Menteng). Semua nama jalan yang diganti, itu sebenarnya nama jalan yang tidak punya nilai historis, bahkan tidak punya makna berarti. Menjadi aneh jika kebijakan Anies Baswedan dan Pemprov DKI untuk menghidupkan nama Mahbub Djunaidi dan tokoh Betawi lainnya, itu dijadikan persoalan, khususnya oleh Ketua DPRD DKI Jakarta. Bahkan pakai ngancam segala, bahwa nama-nama jalan yang sudah diganti Anies itu akan dikembalikan dengan nama semula, jika Anies purna tugas. Aneh.

Prasetyo Edi Marsudi, Ketua DPRD DKI Jakarta, tidak seharusnya menolak apa yang dilakukan Anies dalam “menghidupkan” nama tokoh dan legenda Betawi. Tidak asal ide dari Anies, meski itu baik ditanggapi dengan tidak semestinya.

Anies memang bukan putra asli Betawi. Tapi Anies tahu di mana ia berpijak, dan karenanya kebijakan menghidupkan tokoh dan legenda Betawi seperti jadi keharusan. Itu bagian penghormatan pada putra Betawi, yang berjasa dalam berbagai bidang.

Sedang Prasetyo Edi Marsudi dan beberapa anggota legislator lain, seperti tidak faham soal-soal beginian. Semua lantas dipolitisasi dengan tidak sebenarnya. Coba kita lihat nanti setelah Anies purna tugas di DKI (16 Oktober), apa ia akan tetap nekat mengganti nama-nama tokoh dan legenda Betawi yang “dihidupkan” Anies, itu dengan nama sebelumnya. Kita lihat saja kenekatannya, atau cuma gertak saja, bagian menstigma buruk Anies, seolah mengganti nama jalan itu kebijakan salah. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *