Merdeka dari Utang

waktu baca 4 menit
Ilustrasi: Upacara Hari Kemerdekaan (dompukab.go.id)

Oleh: Daniel Mohammad Rosyid
(Rosyid College of Business)

KEMPALAN: Hari ini kita akan mendengarkan pidato Nota Keuangan Presiden RI di hadapan MPR sebagai joint session DPR dan DPD. Besok kita akan merayakan Hari Kemerdekaan RI yang ke-77. Tradisi pidato RI 1 di depan MPR tentang kebijakan keuangan setahun yang akan datang ini perlu kita cermati karena tiga hal.

Pertama, pidato itu sekaligus simbol upaya Pemerintah saat ini untuk menjadi bangsa yang merdeka. Kemerdekaan tanpa kemerdekaan ekonomi adalah omong kosong. Kemerdekaan politik hanya mitos saat ekonomi kita terjajah. In a globally interconnected world, ekonomi kita akan segera terpengaruh saat dunia pertama seperti AS, dan Eropa, sudah jatuh ke dalam resesi, inflasi dan berbagai krisis termasuk krisis pasokan energi dan makanan akibat konflik Rusia-Ukraina.

Kedua, Menkeu Sri Mulyani berusaha meyakinkan masyarakat bahwa Indonesia kecil kemungkinannya mengalami resesi, walaupun harga2 mulai naik, dan jumlah hutang swasta, BUMN dan Pemerintah membubung tinggi mencapai lebih dari 30% PDB. Dalam logika birokrasi saat ini utang dinilai lumrah, apalagi rasio terhadap PDB masih tergolong rendah di banding negara-negara pertama tadi.

Ketiga, sikap pemerintah terbaru atas pandemi Covid-19 yang selama dua tahun terakhir dijadikan alasan untuk APBN tanpa-kontrol, pelambatan ekonomi dan pembatasan public liberty, legislasi berbagai UU termasuk RUU KUHP, serta investasi proyek2 mercu suar semacam Ibu Kota Negara di Kab. Panajam Paser Utara, Kalimantan Timur. Perlu diwaspadai bahwa UU KUHP yang baru ditangan POLRI saat ini akan menjadi ancaman bagi kebebasan sipil serta jalan raya menuju police state.

Logika hutang sebagai hal lumrah adalah logika International Monetary Fund dan the World Bank yang hidupnya dari hutang. Kedua institusi keuangan global ini merupakan sponsor bagi banyak nation states yang dimerdekakan usai Perang Dunia II. Sejak Konferensi Meja Bundar 1949, ekonomi RI harus mengikuti konstitusi IMF yang ditetapkan 1944 di Brettonwoods untuk memperoleh pendanaan bagi pembangunannya. Amanah UUD45 langsung dipasung oleh konstitusi IMF ini. Resep utama institusi kapitalisme global ini adalah menggolongkan RI sebagai negara miskin, lalu pembangunan dirumuskan lebih sebagai upaya peningkatan konsumsi perkapita, dengan standard Barat, bukan upaya untuk mewujudkan kemerdekaan dengan memperluas kemerdekaan itu.

Negara miskin dengan tingkat konsumsi rendah ini dijadikan alasan untuk berhutang. Padahal hutang apalagi utang ribawi adalah instrumen nekolimik yang pernah dikhawatirkan Bung Karno. Sebagai contoh adalah konsumsi energi perkapita kita saat ini sekitar 1kL setara minyak perkapita pertahun. Bandingkan dengan konsumsi energi perkapita pertahun Eropa dan Jepang sekitar 7kL, sedangkan AS telah mencapai 10kL. Tidak mengherankan jika sejak reformasi, pembangunan pembangkit listrik kita digenjot dengan melibatkan swasta dan membakar BBM dan batubara. Itupun berakhir dengan PLN merugi karena regulasi energinya diatur untuk kepentingan pemilik modal asing.

Mungkin hutang tidak terlalu bermasalah jika tanpa riba sekaligus produktif. Sejak Nixon shocks 1971, dunia di bawah kepemimpinan AS masuk ke dalam sistem keuangan ribawi full fledged. USDollar menjadi alat tukar utama dunia, namun tidak dipijakkan pada emas. The Federal Reserve bisa mencetak uang USD out of thin air. Semua transaksi global harus berbasis USD. Sementara itu negara-negara merdeka itu mengikuti langkah the Fed untuk mencetak uang kertas mereka masing-masing out of thin air juga. Namun dalam transaksi global negara-negara itu harus menggunakan USD. Akibatnya, selama bertahun tahun, sumberdaya alam kita dikuras habis, sejak tambang hingga kayu dan ikan, dengan dibayar uang kertas yang senilai lebih tinggi sedikit dibanding kertas toilet.

Nekolimisasi kaffah oleh Barat atas Republik ini terjadi terus hingga hari ini. Namun sejak sepuluh tahun silam, baik China dan Rusia mulai membangun sistem keuangan global alternatif untuk menantang dominasi USDollar. Ini yang menjelaskan kekalahan AS di Afghanistan, dan kemerosotan dominasi Eropa dan AS di Asia, Afrika, dan Amerika Selatan. Bahkan Fareed Zakarya sudah meramalkan degradasi dominasi Barat ini dalam A post-American World. Terakhir adalah pengakuan Presiden Perancis Macron saat pidato kemenangannya dalam Pilpres baru baru ini bahwa Barat telah kehilangan imajinasi politik dengan memusuhi Rusia tetangga dekatnya sendiri untuk melayani kepentingan AS nun jauh di seberang Atlantik.

Pada saat Nadiem Makarim melontarkan kebijakan Merdeka Belajar Kampus Merdeka kita sebagai bangsa perlu dengan jernih melakukan muhasabah atas diri kita sendiri. Hampir semua indikator ekonomi kita menunjukkan bahwa kita hanya menjadi bangsa jongos bagi bangsa lain. Sistem Pendidikan dibiarkan dikerdilkan menjadi sistem persekolahan massal paksa untuk menyediakan buruh yang cukup trampil untuk menjalankan mesin-mesin pabrik sekaligus cukup dungu untuk setia bekerja bagi kepentingan pemilik modal asing. Padahal, sistem pendidikan kita seharusnya  merupakan strategi budaya untuk membangun bangsa yang berjiwa merdeka di mana warga muda diberi kesempatan luas untuk belajar merdeka. (*)

Editor: Reza Maulana Hikam

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *