Nasihat Eep Saefulloh Fatah Patut Didengar PPP, Agar Tak Berakhir Sesal
KEMPALAN: Sejak akhir 2020, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) menggaet konsultan politik Eep Saefulloh Fatah, founder dan sekaligus Direktur Eksekutif lembaga survei Polmark. Menggaet Eep sungguh langkah tepat.
Eep terbilang konsultan politik handal, juga lurus. Jasanya meng- create siapa saja yang memakainya sudah teruji. Memenangkan Joko Widodo (Jokowi)-Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dalam pilkada DKI Jakarta (2012). Lalu Pilkada Jawa Barat, memenangkan Ahmad Heryawan-Dedi Mizwar (2013).
Diteruskan saat Jokowi-Jusuf Kalla berpasangan maju dalam Pilpres 2014, mengalahkan Prabowo-Hatta Rajasa. Selanjutnya, Pilkada DKI Jakarta (2017), yang memenangkan Anies Baswedan-Sandiaga Uno. Dan seterusnya, banyak nama lain bisa disebut memenangkan Pilkada lewat bantuan tangan dingin Eep dan Polmark nya.
Sebagai konsultan politik, yang tidak semata dengan jam terbang tinggi, tapi lebih dari itu Eep selalu menjaga marwah personal dan lembaganya, setidaknya sampai saat ini. Menjadikan Eep dan Polmark, terbilang “bersih”.
Beruntung PPP bisa bekerja sama dengannya. Pilihan PPP memilih Eep itu pilihan tepat. Kerjasama dengan mengharap bisa mengembalikan kejayaan PPP, setidaknya 15 tahun silam. Saat itu PPP mendapat 59 kursi DPR-RI. Setelah itu, dalam pileg-pileg berikutnya, perolehan kursi PPP terus menurun.
Mungkinkah PPP bisa mendapat kursi lebih dari yang pernah diraihnya, tentu waktu yang menentukan. Dan itu bisa diraih bila dua belah pihak, Eep sebagai konsultan politik dan PPP, sama-sama memahami peran dan kewajiban masing-masing.
Karena target yang diperjuangkan Eep–mengembalikan suara PPP yang hilang–itu bukan perkara mudah. Melihat persaingan partai-partai lain, baik persaingan di tingkat partai penghuni Senayan sendiri, juga munculnya partai-partai baru–sebut saja Partai UMMAT dan Partai Gelora, dua partai pecahan PAN dan PKS–yang berbasis Islam, yang akan bertarung merebut suara konstituen bahkan dalam periuk yang sama. Maka, kerja sama PPP dan Eep mesti seiring sejalan.
Eep memberi nasihat sederhana, yang “wajib” semestinya didengar, itu agar PPP tak salah memilih calon presiden di 2024. Tambahnya, PPP “wajib” mengikuti aspirasi umat Islam. Basis partai Kakbah itu umat Islam. Menjadi mustahil jika PPP tidak memilih calon presiden yang dekat di hati konstituennya. (Formulasi narasi dan diksi saya sendiri, bukan utuh dari Eep).
Coba-coba memilih calon yang tidak di- endorse konstituen, itu sama dengan bunuh diri. Menjadikan PPP pantas ditinggal konstituennya. Bisa jadi untuk memperoleh 4% suara, batas minimal parliament threshold, PPP akan kesulitan. Konsekuensi PPP terpental dari Senayan, itu bisa jadi kenyataan. Mengenaskan.
Menjadi taruhan buat Eep dan Polmark, jika sampai PPP mesti terpental dari Senayan. Seolah bertaruh dengan nama baik yang disandang. Tapi setidaknya Eep sudah mewanti, agar PPP tidak bermain dengan pilihan capres yang salah. Elit PPP mesti mendengar “nasihat” Eep ini, bahwa pilihan capres akan menentukan pilegnya.
Suharso Monoarfa sebagai Ketua Umum PPP bisa disebut pihak yang paling bertanggung jawab atas manuver yang dimainkan dengan membentuk Koalisi Indonesia Bersatu (KIB), bersama PAN dan Partai Golkar. KIB hadir seperti membalik telapak tangan. Cukup hanya bertemu dalam sekali pertemuan, tiga ketua umum partai mengumumkan koalisi.
Spekulasi pun berkembang, menyebut bahwa KIB itu diinisiasi istana untuk mempersiapkan tiket buat Ganjar Pranowo, jika ia tidak mendapat tiket dari PDI Perjuangan. Setidaknya analisa sederhana bisa ditarik ke sana.
Apa keuntungan PPP, dan juga PAN, jika spekulasi mengusung nama capres yang jauh dari pilihan konstituennya. Tentu kerugian yang didapat. Konstituen PPP, juga PAN, mayoritas memilih Anies Baswedan. Bahkan boleh disebut, DNA Anies Baswedan itu PPP dan PAN.
Pertanyaan KIB lahir “untuk apa dan siapa”, itu yang akhir-akhir ini mengusik suara-suara konstituen PPP di cabang, pun membuat resah konstituen PAN. Suara-suara keresahan, yang berujung kemarahan, itu tidak mustahil mendorong kekuatan besar internal partai menuju Muktamar luar biasa. Dan, itu untuk mengoreksi kepemimpinan Suharso Monoarfa. Tidak mustahil sampai harus mendongkelnya.
Dinamika internal PPP menuju Pilpres 2024 yang masih 1,5 tahun lagi, akan menulis kisahnya sendiri, setidaknya akhir tahun 2022 atau awal 2023, semua akan ditentukan. Akankah PPP mengikuti nasihat konsultan politiknya, Eep Saefulloh Fatah, atau tetap kekeh pada akrobat koalisinya. Waktu yang akan menjawab. (*)