90 Persen Makanannya Impor, Singapura Terancam Krisis Pangan?

waktu baca 2 menit
Warga Singapura berbelanja di kios sayuran

JAKARTA-KEMPALAN: Singapura di mata orang awam terlihat negara yang kaya, tetapi nyatanya masalah tantangan krisis pangan yang melanda kehidupan penduduknya terus menerus tiba.

Masalah krisis ketahanan pangan mendapat sorotan pada akhir-akhir ini. Masalah baru yang terjadi pada negaranya adalah adanya larangan ekspor ayam dari Malaysia ke Singapura. Negara dengan julukan Negeri Singa tersebut melakukan impor kebutuhan daging ayamnya dari Malaysia sebesar 34 persen.

Singapura memang salah satu negara yang kekurangan sumber daya alam karena merupakan negara kepulauan kecil. Untuk permasalahan paling mendasar seperti makanan saja Singapura mengimpor hingga 90 persen dari kebutuhannya. Impor tersebut dipasok lebih dari 170 negara dan juga kawasan.

Saat ini untuk memenuhi 30 persen kebutuhan nutrisi warganya pada tahun 2030, Singapura bertujuan produksi pangan secara lokal melalui inisiatif ’30 per 30’.

Selain itu, saat ini Singapura sedang merasakan dampak dari adanya kenaikan inflasi pada makanan. Harga makanan pada bulan April naik sebesar 4,1 persen dari bulan sebelumnya yang sebesar 3,3 persen.

Pemilik Fukudon sebuah kios jajanan yang menjual rice bowl Jepang, Remus Seow, telah terdampak karena adanya kenaikan inflasi. Harga produk yang ia beli, seperti telur, daging, dan minyak goreng naik 30 hingga 45 persen.

Untuk pertama kalinya sejak dua tahun kiosnya berdiri, baru-baru ini ia menaikkan harga makanannya. Jika harga terus naik, kemungkinan sebanyak 20 hingga 30 persen pelanggannya tidak akan datang lagi.

Kenaikan harga pangan global telah naik semenjak adanya pandemi, tetapi perang yang terjadi antara Rusia dan Ukraina memperburuk tekanan inflasi tersebut.

Sebelum mereda pada tahun 2023, World Bank telah mengatakan bahwa tahun ini kenaikan harga pangan diperkirakan akan naik sekitar 20 persen.

Ajun rekan senior di S. Rajaratnam School of International Studies, Paul Teng, mengatakan bahwa Singapura dalam hal sumber pasokan makanannya kurang diperhatatikan. Mereka terlalu meremehkan industri pertanian dan juga terlalu bergantung pada produk pangan di negara lain.

“Singapura telah meremehkan pertanian dan mengimpor makanan. Sekarang negara ini telah melakukan putaran balik, tetapi ini perlu waktu untuk melunasinya,” ujar Paul.

Dil Rahut, Peneliti Senior di Asian Development Bank Institute, mengatakan bahwa dalam jangka pendek krisis pangan akan berlanjut dan bahkan hingga satu atau dua tahun ke depan. (Detik/CNBC/Wartaekonomi, Arlita Azzahra Addin)

Editor: Reza Maulana Hikam

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *