Anies Magnet yang Menggerakkan

waktu baca 5 menit
Anies Baswedan, Gubernur DKI Jakarta.

KEMPALAN: Melirik Anies itu sejatinya tidak saja mendengar suara rakyat, tapi juga memenuhi harapan rakyat. Maka, mengusung Anies lalu jadi keharusan parpol–jika parpol itu ingin tetap dipilih–itu upaya saling menguntungkan.

Tentu ini bukan sembarang melirik, sebagaimana melirik pesona apapun yang dilihat. Ini lebih pada melirik oleh sebab-sebab tertentu. Melirik lalu ditarik pada makna struktural. Tidak cukup berhenti pada satu kata “melirik”, yang bermakna gerakan bola mata memandang pada satu sudut tertentu, yang biasanya tanpa diketahui orang lain. Semacam melihat sepintas.

Melirik Anies Baswedan, Gubernur DKI Jakarta, itu tentu bukan melirik Anies yang tengah berjalan, atau tengah melakukan aktivitas fisik lainnya dengan cara curi-curi pandang. Melirik Anies itu ditarik pada makna politis yang terukur. Sebelum upaya “melirik” itu dilakukan, terlebih dulu memulainya dengan menilai secara cermat elektabilitas seorang Anies Baswedan. Jadi bukan melirik sembarang melirik, tapi melirik dengan penuh perhitungan.

Maka, melirik Anies–itu ditujukan untuk Pilpres 2024–memang belum sampai diutarakan resmi partai politik (parpol) yang berminat untuk mengusungnya. Masih terdengar sayup suara berupa desakan beberapa pimpinan wilayah parpol, yang mengusulkan agar Anies diusung partainya sebagai calon presiden. Setidaknya, DPW PPP DKI Jakarta, sudah memulai menyuarakannya. Juga, DPW Nasdem Aceh pun tak mau ketinggalan. Suara sayup yang terdengar itu pada waktunya akan jelas disuarakan parpol-parpol pengusung.

Dan memang seakan berlaku asas kepatutan yang dipegang parpol, khususnya parpol yang berkoalisi dengan rezim. PPP dan Nasdem berada dalam barisan partai koalisi. Jadi pastilah menunggu momen yang tepat untuk bersikap. Lagi pula, Anies itu punya kesantunan politik tingkat dewa. Mustahil ia mau menerima pinangan partai politik, sebelum Oktober 2022, masa jabatan selaku gubernur selesai dituntaskan.

Setelah itu, setidaknya memasuki tahun 2023, suasana politik akan makin mengeras. Parpol koalisi akan mencari jalannya sendiri. Akan terjadi perpisahan yang mengenakkan, atau bahkan tidak mengenakkan dalam koalisi. Dalam politik itu hal biasa, adanya koalisi antarparpol, yang lalu berakhir dengan perpisahan. Tidak ada yang abadi, semua ditentukan oleh kepentingan. Justru absurd jika parpol yang ada tidak berpegang pada fatsoen itu, yang sidah dianggap baku.

Soliditas antarparpol menjelang Pilpres 2024 itu akan terpecah. Berjalan sendiri-sendiri, tidak lagi bergandengan tangan. Bahkan sampai pada waktunya untuk saling sikut-menyikut. Itu sudah lumrah. Suasana itu akan dirasakan, bahkan gesekannya akan terasa sampai parlemen. Parpol-parpol yang tadinya abai terhadap kepentingan rakyat, berbelok bekerja penuh untuk rakyat. Itu cara parpol agar tetap dilirik konstituennya. Untuk tetap dipilih. Berharap bisa tetap berada di Senayan.

Mendengar Suara Rakyat

Anies itu bagai magnet, yang mampu menarik partai politik untuk meliriknya. Bahkan Anies bisa jadi magnet bagi parpol pengusungnya, itu jika ingin tetap dipilih pada pemilihan legislatif (Pileg), yang waktunya bersamaan dengan Pilpres. Pemilih Anies lebih dimungkinkan akan juga memilih parpol pengusungnya.

Parpol pengusung Anies itu layak disebut mampu mendengar suara rakyat, yang menghendaki Anies memimpin negeri ini.
Jika suara rakyat tidak didengar oleh sebab-sebab tertentu–ambisi pribadi penguasa partai atau kepentingan instan lainnya–bisa dipastikan partai itu akan ditinggal pemilihnya. Kasus Pilkada DKI Jakarta (2017) mengajarkan. Saat itu PPP, yang coba meninggalkan Anies dan lebih memilih petahana. Itu berdampak pada kursi anggota DPRD PPP DKI Jakarta, yang semula berjumlah10 kursi, terkoreksi menjadi hanya 1 kursi (2017). Ditinggal pemilihnya.

Dibanding saat Pilkada DKI Jakarta lalu, tentu Anies saat ini punya daya magnet lebih kuat tarikannya untuk mengikat pemilihnya. Mestinya itu jadi perhatian parpol-parpol untuk serius mengusungnya. Melirik Anies itu sejatinya tidak saja mendengar suara rakyat tapi juga memenuhi harapan rakyat. Maka, mengusung Anies jadi keharusan parpol–jika parpol itu tetap ingin dipilih–dan itu upaya saling menguntungkan.

Disatukannya Pilpres dan Pileg pada waktu bersamaan, setidaknya blessing in disguise buat Anies Baswedan. Jika parpol tidak mengusungnya, maka konsekuensi untuk ditinggal konstituennya, dengan tidak memilih parpol bersangkutan kecenderungannya cukup tinggi. Setidaknya analisisnya demikian, khususnya pada partai-partai dengan konstituen berbasis Islam, atau partai yang lebih “terkesan” Islami (PPP, PKS, dan PAN).

Kekuatan Anies saat ini, itu ibarat di kedua tangannya ada magnet yang mampu menggerakkan. Pada tangan kanannya, mampu menarik rakyat untuk memilihnya. Sedang pada tangan kirinya, mampu menarik partai politik untuk mengusungnya.

Menjadi tidak berlebihan, bahwa Anies tidak saja layak dilirik, tapi menjadi pantas diperebutkan parpol untuk mengusungnya, itu suatu keniscayaaan. Pada saatnya nanti, parpol akan saling mendahului meminangnya. Dengan meminang terlebih dahulu, seolah bentuk penegasan bahwa partai kami lah yang pertama mengusung Anies Baswedan.

Semua itu tetap ditentukan, bagaimana elektabilitas Anies bisa terus dipertahankan. Bisa tetap bertengger di posisi atas, atau setidaknya tetap ada di tiga besar. Maka, kerja keras para relawan Anies yang bertumbuh bak jamur di musim hujan, itu punya peran mampu mengekalkan Anies sebagai kandidat yang pantas diusung sebagai Calon Presiden.

Tahun 2024 memang masih sekitar dua tahunan lagi. Tapi geliat Pilpres sudah ditabuh, dan suaranya akan semakin kencang, itu jika parpol sudah menentukan jagoannya masing-masing. Maka menghadirkan pemimpin negeri yang punya track record baik dan bersih harus terus diikhtiarkan. Tidak berharap pada pemimpin yang muncul yang cuma netek pada oligarki.

Suka atau tidak suka memang Anies lah pemimpin yang hadir dan tidak dibesarkan oleh rekayasa jahat. Anies hadir dengan karya atas kerja-kerja terukurnya. Semua bisa melihatnya dengan terang-benderang, tentu jika menggunakan mata hati bersih. (*)

Editor: Muhammad Tanreha

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *