Solidaritas untuk Wadas melalui Pameran Seni
MALANG-KEMPALAN: Konflik agraria kian hari kian menjadi problem bagi rakyat indonesia. Alih-alih berkurang, konflik agraria di Indonesia justru semakin meningkat.
Menurut data Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), sedikitnya 241 kasus konflik agraria terjadi sepanjang 2020 total kasus tersebut terjadi di 359 daerah di Indonesia dan berdampak pada 135. 332 kepala keluarga.
Konflik agraria terbanyak terjadi pada sektor perkebunan, yakni 122 kasus. Jumlah konflik agraria tersebut naik sekitar 28 persen dibandingkan pada tahun sebelumnya yang hanya 87 kasus.
Selanjutnya tertinggi kedua konflik agraria terjadi pada sektor kehutanan yaitu sebanyak 41 kasus. Dan konflik agraria lainnya terjadi di sektor infrastruktur sebanyak 30 kasus, properti 20 kasus, pertambangan 12 kasus, fasilitas militer 11 kasus, keelautan 3 kasus, dan agribisnis 2 kasus.
Salah satu konflik agraria yang menjadi pusat perhatian akhir-akhir ini ialah konflik agraria yang berada di Desa Wadas. Salah satu penyebab yang menjadikan pusat perhatian dari konflik agraria yang satu ini ialah perlakuan represif aparat kepada warga Wadas.
Konflik lahan Desa Wadas, Kecamatan Bener, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah masih berkecamuk karena rencana penambangan jutaan ton batu andesit di desa yang subur ini. Puluhan warga ditangkap sejak dimulainya aktifitas pengukuran lahan 8 Februari lalu.
Beberapa tanggaapan dari masyarakat dan juga senimanpun muncul demi melawan perampasan tanah dan segala bentuk keserakahan pemerintah untuk mengeruk sumber daya alam di Desa Wadas.
Sebanyak 22 seniman yang terdiri dari seniman Jakarta, Semarang, Yogyakarta, Bandung, dan Malang Raya menyuarakan keberpihakannya terhadap warga, melalui sebuah pameran yang bertajuk ‘’Kepada Tanah; Hidup dan Masa Depan Wadas’’.
Dilansir dari postingan akun instagram Galeri Raos pameran diselenggarakan secara maraton di 6 kota. Mulai Bali, Semarang, Jakarta, Bandung, Yogyakarta, dan juga Kota Batu Jawa Timur. Pameran yang dilaksanakan di Kota Batu akan digelar di adakan di Galeri Raos.
Pameran ini digelar oleh jejaring solidaritas Jogja berkolaborasi dengan 22 seniman dan warga Desa Wadas Sejak 12 hingga 17 Februari.
Pameran ini menampilkan karya dalam kemasan biji kopi robusta Desa Wadas. Para seniman melukis langsung kemasan bagian depan, dengan berbagai rupa dan warna.
Tidak hanya itu, terdapat pula lukisan dan karya seni lainnya yang bernuansakan propaganda tentang kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh ulah manusia, juga terdapat teks-teks mengenai konflik agraria yang akhir-akhir ini sangat masif terjadi di Indonesia.
Seluruh karya seni ini dilelang mulai harga Rp 400 ribu. ”Semua hasil lelang akan didonasikan untuk membantu aktivitas warga disana yang kini tengah berjuang mempertahankan tanahnya,” ungkap Ahmad Kholili, salah satu perwakilan seniman kepada kempalan.com, Senin (14/2).
Lanjut Kholili, nanti juga akan dilangsungkan diskusi membahas isu-isu konflik agraia untuk memperluas nafas gerakan kepedulian dan keselamatan lingkungan.
Dalam pameran ini juga dipamerkan sebuah mural panjang di tembok galeri, berisi tentang kronologi dan penjelasan terkait sepak terjang perlawanan warga Desa Wadas. Pesan pameran ditutup dengan manis lewat coretan ‘Tanah adalah daging, air adalah darah dan batu adalah tulang’ terpampang jelas dan besar pada tembok Galeri Raos.
Dengan diadakan pameran ini diharapkan dapat membantu warga Desa Wadas yang sedang melawan segala bentuk keserakahan dan kesewenangannya melalui penggalangan hasil karya yang di tampilkan.
Selain itu juga dapat memberi wawasan terhadap masyarakat luas tentang pentingnya memahami isu-isu konflik agraria yang ada di negri kita tercinta. Agar tidak ada lagi sekelompok manusia serakah yang ingin mengambil harta karun di negri ini dengan sewenang-wenang saja tanpa mempedulikan kesejahteraan bersama. (Mochamad Alfaizi)
Editor: Mohammad Tanreha
