Ketika Suasana Menggeser Harga
Catatan Ekonomi Bambang Budiarto
KEMPALAN: Barang dan Jasa. Ya, dua hal itulah jawabnya ketika disodori pertanyaan apakah kebutuhan manusia itu. Dan memang itulah doktrin-nya bahwa kebutuhan manusia adalah barang dan jasa. Segala bentuk sandang pangan papan adalah barang dan segala keperluan untuk merawat diri menuju cantik sehat juga bepergian adalah jasa. Tentu saja disertai keperluan-keperluan lain pendukung sandang pangan papan serta hal-hal lain untuk sampai pada raihan cantik dan sehat tersebut. Keseluruhannya itu dengan bahasa yang lebih sederhana dapat dikatakan bahwa kebutuhan manusia adalah barang dan jasa.
Namun sebagai sebuah perjalanan hidup pada titik tertentu akhirnya harus disadari bahwa sebagai umat beragama ternyata juga memiliki kebutuhan untuk berdoa. Setiap kita mempunyai kebutuhan untuk berdoa mempunyai keperluan untuk beribadah. Memahami hal yang demikian, ketika dalam sebuah ujian sekolah muncul pertanyaan apakah kebutuhan manusia, maka jawaban untuk ditulis di lembar jawaban adalah barang dan jasa, yang selanjutnya dalam hati boleh disambung dengan “manusia juga memiliki kebutuhan untuk beribadah berdoa”.
Dengan cara yang demikian, ujian sekolah menjadi benar dan benar pula-lah ujian hidup di dunia. Kita tidak akan terjebak kebutuhan-kebutuhan dan keindahan dunia semata namun juga telah berpikir jauh menyadari akan adanya kehidupan setelah kehidupan dunia ini. Sadar perimbangan akan kebutuhan dunia – akhirat dan tidak terjebak dalam sekulerisme. Semoga.
Terlepas dari kebutuhan manusia akan barang, jasa, juga doa, dan seiring dengan pemikiran serta perkembangan peradaban manusia ternyata juga mulai disadari bahwa mulai terjadi pergeseran pertimbangan ketika seseorang menjatuhkan keputusan untuk berkonsumsi. Suasana, dalam beberapa kesempatan benar-benar menjadi variabel tidak terukur yang saat sekarang sangat dipertimbangkan dalam menjatuhkan keputusan untuk berkonsumsi.
Di saat keseluruhan kebutuhan telah terpenuhi di rumah dan siap dikonsumsi setiap saat ternyata muncul pemikiran ngopi di luar. Di saat ketemu dengan sejawat saudara dan teman-teman yang sebenarnya dapat dilakukan dan dipenuhi kecukupannya di rumah ternyata muncul pemikiran ngopi di luar. Dimungkinkan munculnya adu argumen disana saja disini saja, enak disana enak disini, nyaman disana nyaman disini.
Dapat dipastikan keseluruhan adu argumen pemilihan tempat ngopi di luar tersebut bukanlah karena harga atau selera (taste) tapi lebih pada pertimbangan ingin menikmati suasana. Besar kemungkinan harganya sama rasa-nya sama tapi suasananya yang berbeda. Inilah yang sebenarnya dipertimbangkan dan yang sebenarnya dibeli, suasana. Simulasi yang demikian adalah salah satu bentuk kecil bagaimana orang menjatuhkan keputusan untuk berkonsumsi.
Keputusan untuk bertransaksi yang didasari tidak didasari harga, bukan didasari selera. Baik harga barang itu sendiri ataupun harga barang substitusinya ataupun harga barang komplemennya. Tentu saa yang demikian tidaklah berlaku umum tapi dengan batasan-batasan yang mengikutinya.
Namun minimal keberadaan suasana telah menyadarkan pemikiran bahwa di luar variabel-variabel klasik yang selama ini ada, ternyata ada variabel lain yaitu suasana. Begitulah, bahkan pada kondisi tertentu suasana menjadi variabel yang mahal harganya. Keberadaannya dimungkinkan menjadi pertimbangan lebih dibanding yang lainnya termasuk harga dan selera.
Pertanyaannya sekarang adalah sampai batas manakah seseorang akan menempatkan suasana lebih tinggi dibanding harga? Salam. (Bambang Budiarto – Dosen Ubaya, Pengamat Ekonomi ISEI Surabaya, Redaktur Tamu Kempalan.com)