Refleksi Ruang Publik Kuno hingga Digital

waktu baca 15 menit
Pidato PEngukuhan Guru Besar F. Budi Hardiman (8/12/2021) (foto: ist)

KEMPALAN: Di kalangan peminat filsafat di Indonesia, nama Fransico Budi Hardiman tidaklah asing. Buku-bukunya terpajang di berbagai rak buku filsafat di perpustakaan pribadi maupun umum. Bentang pemikirannya pun terentang dari era modern hingga era posmodern. Namun perhatian/kepeduliannya tetap sama pada dunia komunikasi/ruang publik.

Prof Dr Fransisco Budi Hardiman SS MA, dikukuhkan menjadi Guru Besar Ilmu Filsafat, pada Rabu (8/12/2021).

Secara formal F. Budi Hardiman memfokuskan konsentrasinya pada dua problem yang bertentangan: demokrasi dan kediktatoran; modernitas dan patologinya; kebebasan dan kerinduan dikuasai; rasionalitas dan irrasionalitas manusia.

Minatnya juga mencakup pengembangan konsep ‘fragmentasi’ dan ‘interseksi’ dalam fenomen kemanusiaan. ”Jika Anda percaya demokrasi, kesamaan, kebebasan dan keadilan”, kata Franky sapaanya, “Anda baru mengenal satu sisi manusia: sisi terang. Ada sisi gelap yang menghalangi: kebutuhan untuk ditaklukkan. Dan yang gelap ini tak kalah mempesona dibanding yang terang”

Menerjemahkan Habermas

Pada awal karir intelektualnya, tak diragukan karya F. Budi Hardiman adalah publikasi pertama dalam bahasa Indonesia yang menyajikan pemikiran cukup rinci dan mendalam tentang Jurgen Habermas. Dia sejak awal menjadi mahasiswa intens mengikuti dan terus menggali pemikiran sosok yang menyebut modernitas adalah sebuah unfinished project. Dia pun melakukan wawancara langsung dengan Habermas yang hasil wawancaranya dia terbitkan dalam buku terakhirnya, Demokrasi Deliberatif.

Sosok Jurgen Habermas seolah telah melekat pada diri Fransisco Budi Hardiman. Habermas, sebagai filsuf avant garde abad ini, jika bukan karena Franky, pemikir kritis asal Jerman itu boleh jadi dikenal hanya oleh sangat sedikit kalangan intelek Indonesia.

Setidaknya tiga buku dia dedikasikan sebagai diseminasi wacana pemikiran Habermas. Kritik Ideologi: Menyingkap Pertautan Pengetahuan dan Kepentingan Bersama Jurgen Habermas (1989), merupakan buku pertama Hardiman yang menyajikan pemikiran Habermas atas salah satu unsur terpenting Teori Kritis Masyarakat klasik, yaitu hubungan antara perumusan teori dengan kepentingan ideologis. Habermas memberi goncangan keras atas pengetahuan yang selama ini diakui bersifat bebas nilai dan bebas kepentingan, namun ternyata sarat dengan kepentingan.

Habermas membuat pembedaan kepentingan antara ilmu-ilmu empiris analitis di satu pihak, dan ilmu-ilmu historis-hermeneutis lain pihak. Penerus teori Kritis Frankfurt ini menelanjangi berbagai kepentingan dalam sains modern. Habermas membongkar kepentingan teknis dalam ilmu-ilmu alam, kepentingan praktis dalam ilmu-ilmu kemanusiaan dan kepentingan emansipatoris dalam ilmu-ilmu kritis. Namun Habermas menyarankan kepentingan terakhir.

Dalam perspektif tersebut, distorsi ideologis terjadi apabila kepentingan yang memberikan arah dasar pada ilmu-ilmu empiris-analitis, yaitu kepentingan akan penguasaan alam, melimpah ke dalam wilayah ilmu-ilmu historis-hermeneutis. Ilmu-ilmu historis hermeneutis sebenarnya didasari oleh kepentingan akan komunikasi yang berhasil. Dengan ini, Habermas menerobos jalan pembaruan Teori Kritik Masyarakat degan paradigma komunikasi.

Franky kemudian mengajak untuk mendalami Paradigma komunikatif tokoh yang semakin besar pengaruhnya bagi perkembangan ilmu-ilmu sosial dan filsafat dewasa ini dalam Menuju Masyarakt Komunikatif: Ilmu, Masyarakat, Politik dan Postmodernisme menurut Jurgen Habermas (1994). Karya-karya Habermas yang terpenting seperti psikoanalisis Freud, materialisme sejarah, teori rasionalisasi Weber, krisis legitimasi dan juga postmodernisme, diulas dalam buku ini.

Melalui analisis kritisnya, Habermas memperlihatkan bahwa modernisasi, sejauh didominasi oleh sistem kapitalisme, mengandung beragam cacat yang mendasar. Dengan mengutamakan segi-segi teknis dan instrumental dari pengetahuan dan tindakan birokratis, modernitas kapitalis mengikis segi-segi hakiki kehidupan sosial yang pada dasarnya bersifat komunikatif.

Tidak hanya mengkritik paham kebebasan nilai ilmu-ilmu, teknokratisme, dan depolitisasi massa, Habermas mendiagnosis adanya krisis legitimasi dalam masyarakat dewasa ini dan membuka diskusi dengan pemikiran postmodern. Modernitas, adalah proyek yang belum selesai dan cacat-cacatnya harus diatasi dengan pencerahan lebih lanjut melalui “rasio komunikatif”. Selanjutnya dia mengembangkan konsep tentang tindakan komunikatif dalam masyarakat.

Menurut Habermas, masyarakat komunikatif bukanlah masyarakat yang melakukan kritik melalui revolusi atau kekerasan, melainkan lewat argumentasi. Habermas menyebutkan adanya klaim-klaim kesahihan yang dipandang rasional dan akan diterima tanpa paksaan sebagai hasil konsensus. Ada empat macam klaim yang dia sebut sebagai kompetensi komunikatif, yakni truth claim, rightness claim, sincerity claim dan comprehensibility claim.

Dalam hal ini, jika kita sepakat tentang dunia alamiah dan objektif, kita mencapai klaim kebenaran (truth). Kalau sepakat tetnang pelaksanaan norma-norma dalam dunia sosial, kita mencaai klaim ketepatan (rightness). Kalau seapkat tentang kesesuaian antara dunia batiniah dan ekspresi seseorang kita mencapai klaim autentisitas atau kejujuran (sincerity). Akhirnya kalau kita bisa menjelaskan macam-maacm klaim itu dalam mencapai kesepaktan atasnya, kita mencapai klaim komprehensibilitas (comprehensibility).

Habermas mengembangkan berbagai konsep tindakan komunikatif itu dalam demokrasi deliberatif. Franky kemudian menelitinya dalam Demokrasi Deliberatif: Menimbang ’Negara Hukum’ dan ’Ruang Publik’ dalam Teori diskursus Jurgen Habermas (2009). Habermas menawarkan “titik-titik sambungan komunikatif” antara negara, pasar dan masyarakat yang selama ini diblokade oleh kepentingan elit. Kekuatan yang menerobos saluran komunikasi yang tersumbat itu adalah proses-proses diskursif di dalam apa yang disebutnya “ruang publik politik”.

Ruang publik merupakan tempat bagi publik dalam mengekspresikan kebebasan dan otonomi mereka. Ruang publik itu bisa berwujud bebebasan berserikat, kebebasan pers, , kebebasan berkeyakinan, independensi, kebebasan berakal sehat, kebebasan membela diri, kebebasan membela komunitas, kebebasan berunjuk rasa, otonomi daerah, dan keadilan sistem hukum.

Dalam perspektif ini, negara tidak lagi menentukan hukum dan kebijakan politik lainnya dalam ruang tertutup yang nyaman, tetapi masyarakat sipil melalui media dan organisasi yang vokal memainkan pengaruh yang sangat signifikan dalam proses pembentukan hukum dan kebijakan politik itu. Medan publik menjadi arena di mana perundangan dipersiapkan dan diarahkan secara diskursif atau “diskursus publik”..

Diskursus publik itu menjadi ruang terjadinya demokrasi bersifat deliberatif. Itu terjadi jika proses pemberian alasan atas sesuatu kandidat kebijakan publik diuji lebih dahulu lewat konsultasi publik. Secara kebahasaan sendiri, Kata “deliberasi” berasal dari kata Latin deliberatio yang artinya “konsultasi”, “menimbang-nimbang”, atau “musyawarah”.

Berbagai konflik dan amuk massa yang terus menggejala terjadi dengan berbagai motif dan tujuan, dari perspektif Habermas, tidak cukup diatasi dengan solidaritas antar warga bangsa. Integrasi sosial, kata Habermas, tidak dapat dicapai tanpa hukum, tidak pula dengan kekuatan kekuasaan administratif (negara). Dengan adanya hukum, masyarakat memiliki kerangka kelakuan yang dapat diikuti begitu saja tanpa harus terus menerus ber-diskursus.

Dalam hal ini hukum menyediakan kerangka di mana warga dapat memperjuangkan kepentingannya masing-masing secara sah, dan orang tidak harus selalu bertindak berdasarkan pertimbangan-pertimbangan moral tinggi. Cukup ia berpegang pada hukum dan ia dapat hidup dan berusaha dengan damai. Tertapi hukum di sini adalah hukum yang kokoh dan legitimate.

Habermas, menawarkan model demokrasi yang memungkinkan rakyat terlibat dalam proses pembuatan hukum dan kebijakan-kebijakan politik. Itulah demokrasi deliberatif yang menjamin masyarakat sipil terlibat penuh dalam pembuatan hukum melalui diskursus-diskursus. Tetapi bukan seperti dalam republik moral Rousseau di mana rakyat langsung menjadi legislator, maka dalam demokrasi deliberatif yang menentukan adalah prosedur atau cara hukum dibentuk.

Ruang publik dalam pemikiran Habermas bertujuan untuk membentuk opini dan kehendak (opinion and will formation) yang mengandung kemungkinan generalisasi, yaitu mewakili kepentingan umum. Dalam tradisi teori politik, kepentingan umum selalu bersifat sementara dan mudah dicurigai sebagai bungkus kehendak kelompok elit untuk berkuasa. Generalisasi yang dimaksud Habermas sama sekali bukan dalam arti statistik, melainkan filosofis karena bersandar pada etika diskursus.

Negativitas dan Fragmentaris

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *