Jenderal Sultan
KEMPALAN: Jenderal Andika Perkasa pantas disebut sebagai jenderal sultan yang layak jadi idola. Tampan, gagah, dan tajir melintir. Jarang sekali ada profil tentara seperti Andika Perkasa. Karena itu, popularitasnya langsung meroket beberapa hari menjelang penetapannya sebagai Panglima TNI (Tentara Nasional Indonesia).
Andika dengan cepat menjadi media darling. Pemberitaan mengenai perebutan posisi tertinggi di TNI itu pasti selalu ramai. Tetapi, kali ini benar-benar beda. Bukan persaingan politik saja yang menjadi perhatian publik, tapi figur Jenderal Andika yang charming itu menjadi perhatian khusus khalayak.
Sudah sangat lama tidak muncul figur populer dari kalangan serdadu. Nama-nama yang beredar selama ini umumnya adalah stok lama yang masih tetap beredar meskipun sudah kedaluwarsa. Nama-nama seperti Prabowo Subianto, Luhut Panjaitan, Moeldoko, adalah nama-nama tentara lawas yang masih tetap dipaksakan beredar.
Dalam 10 tahun terakhir hampir tidak muncul nama-nama baru dari lingkungan militer yang menonjol di panggung politik nasional. Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto, yang selama beberapa tahun terakhir menjadi orang nomor satu di TNI, penampilannya biasa-biasa saja. Flat dan datar, tidak pernah bisa menjadi media darling.
Kemunculan Andika Perkasa membawa angin segar. Ia punya semua syarat untuk menjadi jenderal selebritas yang bisa menjadi media darling. Wajahnya menarik dan badannya tegap seperti Ade Rai dan Arnold Schwarzenegger. Dan yang lebih penting lagi, dia jenderal sultan yang tajir melintir. Total kekayaannya mencapai Rp 180 miliar. Dengan kekayaan sebesar itu Andika layak masuk dalam jajaran ‘’the crazy rich’’ Indonesia.
Sewaktu Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) muncul di panggung politik nasional, profilnya yang gagah, tegap, dan berwibawa menjadi daya tarik nasional. SBY menjadi idola baru yang dengan cepat meroket popularitasnya. Ibu-ibu mengagumi tampilannya yang gagah dan berwibawa. Publik secara umum menyukai penampilan SBY yang rapi dan penuh disiplin.
SBY berhasil memenuhi imajinasi publik yang menginginkan seorang pemimpin yang ‘’agung binantara’’ sebagaimana profil raja-raja Jawa di masa lalu. SBY adalah figur raja dan tentara yang sesuai dengan citra kepemimpinan tradisional yang dirindukan publik.
Dengan profil dan kredensial semacam itu, popularitas SBY melesat melewati Megawati Soekarnoputri yang nota-bene adalah presiden petahana. Dengan profil yang mantap dan didukung proyek pencitraan media yang profesional, SBY melenggang menuju RI-1.
Sepuluh tahun era kepemimpinan SBY berakhir. Kemudian muncul Jokowi yang benar-benar menjadi anti-tesa SBY. Jokowi mencitrakan dirinya sebagai bagian dari rakyat, hidup di tengah rakyat, dan memahami persoalan rakyat. Dengan pengelolaan pencitraan yang canggih, Jokowi bisa mulus mencapai posisi RI-1 menggantikan SBY.
Menjelang akhir pemerintahan Jokowi persaingan menuju kursi RI-1 sudah mulai memanas. Siklus politik Indonesia yang biasanya berumur 10 tahun kemungkinan besar akan terjadi lagi. Setelah 10 tahun era SBY yang serba datar dan stabil, kemudian dilanjutkan dengan 10 tahun era Jokowi yang penuh gelombang, saatnya publik mencoba lagi figur baru untuk menjadi pemimpin nasional.
Ganjar Pranowo yang menjadi copy-paste Jokowi tentu punya peluang besar, dengan catatan publik masih ingin punya presiden seperti Jokowi. Tetapi, melihat siklus 10 tahunan politik Indonesia, kelihatannya publik menginginkan figur dan style kepemimpinan baru untuk lima tahun dan sepuluh tahun mendatang.
Ganjar nyaris tidak menunjukkan diferensiasi dari Jokowi. Malah Ganjar sengaja menjadi ‘’cover version’’ Jokowi. Strategi ini mungkin bisa meraih dukungan dari para penggemar Jokowi yang masih tersisa. Tetapi, gaya cover version Ganjar ini belum tentu cocok untuk meraih dukungan dari kelompok yang tidak mendukung Jokowi.
Dalam hal ini Anies Baswedan diuntungkan. Ia mempunyai posisi yang tepat sebagai anti-tesa Jokowi. Kalau siklus 10 tahunan politik Indonesia berjalan normal, Anies punya peluang besar untuk menjadi suksesor Jokowi. Periode 10 tahun Jokowi dianggap sudah cukup, dan publik ingin mencoba pemimpin baru yang berbeda dari sebelumnya.
Siklus presiden merakyat…