Stereotip Humanistik, Mati Ketawa Cara Orang Madura
KEMPALAN: Di tahun 1986 sebuah buku terbit. Meledak… best seller. Judulnya Mati Ketawa Cara Rusia, disunting oleh Zhanna Dolgopolova. Terjemahan dari edisi Inggris Russia Dies Laughing, Jokes from Soviet Russia.
Baik buku edisi Inggris maupun terjemahan Indonesianya (Penerbit Pustaka Utama Grafiti), laku keras. Dicetak ulang beberapa kali, penerbit pun merasakan “panen raya”. Menjadi lebih menarik, Mati Ketawa Cara Rusia, ini diberi pengantar Abdurrahman Wahid, atau akrab dipanggil Gus Dur.
Pengantar dari Gus Dur cukup panjang, memukau dan mengasyikan. Intelek. Pengantar yang bukan sekadar “pengantar”, atau asal pengantar sebagai pemanis buku selayaknya. Dengan latar belakang sense of humour yang tinggi, Gus Dur menjadikan buku ini jadi lebih berkelas.
Setelah kesuksesan penerbitan buku Mati Ketawa Cara Rusia, maka bermunculanlah buku-buku humor lainnya. Termasuk kumpulan humor Gus Dur yang memang seabrek, diterbitkan beberapa penerbit. Gus Dur memang gudangnya humor. Penerbit lainnya yang menyusul menerbitkan karya-karya humor, itu pun lumayan mendapat cipratan berkah dari kesuksesan buku Mati Ketawa Cara Rusia.
Gus Dur juga banyak mengoleksi humor ala Madura, baik rekaan atau yang muncul dengan sebenarnya. Menjadi menarik jika kisah humor itu, bersangkut paut dengannya.
Adalah KH Tholhah Hasan, Menteri Agama RI era KH Abdurrahman Wahid menjadi Presiden RI ke-4, yang menceritakan kisah ini. Itu saat beliau menyertai kunjungan Gus Dur di salah satu Kabupaten di Madura.
Setelah dijamu dengan macam-macam seni penyambutan, Gus Dur diterima di ruang utama Kabupaten. Dengan bangga sang Bupati mengenalkan Gus Dur dengan anak muda juara Matematika se-Madura.
Oleh Gus Dur anak muda itu ditanya, “Sampean pintar matematika ya, hebat itu. Orang Madura harus pintar, biar bisa angkat harga diri orang Madura.”
Anak muda yang memang mengidolakan Gus Dur itu, mendengarkan sambil manggut-manggut penuh bangga.
Tapi Gus Dur tidak melepas anak muda itu begitu saja, ia ingin memberikan tugas sambil ngetes bener tidak ia jago marematika.
“Kalau begitu, coba buktikan. Itu ada tiang bendera, ukur panjangnya.” Adalah hal biasa mengukur benda dengan mengukur bayangan yang ditimbulkan, dan sejenisnya.
Lalu Gus Dur melanjutkan pertemuan dengan Bupati dan jajarannya. Setelah selesai, Gus Dur mengajak rombongan ke lapangan membuktikan anak muda jagoan matematika tadi.
Sesampai di lapangan, Gus Dur tampak kaget. Bagaimana tidak kaget, melihat beberapa Paspampres dan Tentara ikut sibuk menurunkan tiang bendera itu. Sang anak muda tadi dipanggil, “Katanya sampean pintar matematika, kok ngukurnya pakai tiang diturunkan begitu.”
“Mohon maaf Pak Presiden, njenengan kan minta diukurkan panjang. Kalau tiangnya berdiri, itu namanya tinggi.”
Gus Dur sambil terkekeh menyahut, “Sampean ancen asli Madura.”
Stereotip yang Melekat
Orang Madura sering distereotipkan dengan hal-hal mengecilkan dan tentu candaan. Stereotip itu pelabelan yang biasa menyasar pada etnis mana saja termasuk Madura, setidaknya itu diasampaikan Prof Mahfud MD, Menkopolhukam.
Prof Mahfud, yang memang etnis Madura menyampaikan adanya stereotip terhadap etnis Madura, dalam acara silaturahim virtual, Sabtu (28 Agustus), dengan tema “taretan” Madura se-dunia, bertema “nyambung taresna masettong se tapesa” (menyambung silaturahim menyatukan yang terpisah).
Mahfud pun menceritakan saat menjadi Menteri Pertahanan RI di era Presiden ke-4 KH Abdurrahman Wahid, hingga menjadi Ketua Mahkamah Konstitusi, dimana dirinya sering mendengar sebutan tukang sate dan penjual besi tua.
Lanjutnya, Pak Mahfud itu asli mana? Lalu di bagian belakang nyahut, sate… sate… Ada pula yang tanya dari mana asal Pak Mahfud, dan dijawab, lempar aja kaleng bekas di belakangnya, kalau bunyi klontang pasti ia noleh.
“Itu mengasumsikan orang Madura itu penjual besi tua.”
Apa benar kisah Pak Mahfud itu, sampai segitu-gitunya orang bertanya asalnya, lalu menyahut dengan sate dan besi tua. Padahal untuk tahu dari mana asal Pak Mahfud itu gak perlu ditanyakan, aksen bicaranya sudah menunjukkan, ia sebenar-benar asli Madura.
Stereotip orang Madura, tambah Mahfud, bisa hilang, itu dengan pendidikan. Ia mencontohkan dirinya, dimana sang Ayah meski tidak lulus SD, tapi amat mengharap anak-anaknya bisa sekolah tinggi.
Hadir pula dalam silaturahim virtual budayawan dan sastrawan asal Madura, D. Zawawi Imron, yang mengatakan, “Kita perlu punya semangat seperti Trunojoyo untuk mengharumkan Madura… Orang Madura punya tugas untuk mengharumkan Indonesia, dan tidak ada alasan orang Madura tidak cinta Indonesia…”.
Pertemuan virtual “taretan” itu menghadirkan tokoh-tokoh Madura tingkat nasional dan diaspora yang menyebar di banyak negara Eropa, Amerika, Jazirah Arabiah, Australia… dan Asia lainnya, baik mereka yang bekerja maupun tengah studi.
Chairul Anam, Ketua Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Dunia, yang tengah mengambil studi doktoral di Universitas Charles di Praha, Republik Ceko, mengatakan pentingnya peningkatan sumber daya manusia agar bisa memberikan kontribusi terhadap kemajuan bangsa. Pendidikan paling penting dalam peningkatan sumber daya manusia.
Masyarakat Madura bekerja dan belajar meninggalkan kampungnya. Tapi tidak banyak yang kembali membangun daerahnya. Mayoritas lebih memilih tinggal di ibu kota dan kota-kota besar lainnya. Madura masih tetap dengan keadaan yang sama, dan stereotip itu akan tetap melekat. Kenapa mesti merasa rendah, jika orang Madura masih identik dengan tukang sate, pedagang besi tua, tukang cukur…, bukankah itu pekerjaan halal.
Stereotip itu melekat, dan butuh waktu panjang untuk menghilangkan, atau bahkan mustahil dihilangkan. Biarkan saja stereotip itu terus hadir, dan meski jika harus menjadi humor ala Madura. Tentu tidak dimaksudkan mengecilkan apalagi menghina… Biarkan ini terus abadi, dikenang dan menghibur generasi ke generasi. Sama sekali tidak mengecilkan, justru menonjolkan sisi-sisi humanistik bersahaja dan sederhana orang Madura dalam memaknai hidup. (*)