Pandemisasi Pelanggaran HAM Berat

waktu baca 4 menit

Daniel Mohammad Rosyid

KEMPALAN: Pembajakan reformasi 20 tahun silam telah mengakibatkan deformasi besar-besaran kehidupan berbangsa dan bernegara. Reformasi gagal memperkuat Republik, tapi malah mengerdilkannya hari ini menjadi semacam imperium Romawi di tangan Nero. Kegagalan monumental gerakan reformasi ditandai terutama oleh kegagalan Komisi Pemberantasan Korupsi untuk memberantas abuse of corruptive power di lingkungan aparat. Unsur aparat di KPK justru yang melumpuhkan KPK. Aparat pula yang melakukan pelanggaran HAM berat dalam pembunuhan sadis atas 6 laskar FPI pengawal HRS. Alih-alih Republik ini menjadi semakin demokratis, yang terjadi justru duitokrasi di mana duit berkuasa.

Akhir tahun 2020 lalu, saat didampingi beberapa profesor, Menkopolhukam Mahfud MD mengumumkan bahwa FPI telah bubar dan tidak memiliki lagi legal standing. Lalu melarang FPI untuk melakukan berbagai kegiatan yang membuatnya sebuah organisasi yang konon paling berbahaya di Republik ini. Hemat saya, langkah ini adalah upaya putus asa Pemerintah untuk menghentikan sebuah trajectory yg ditempuhnya sendiri untuk membawa Republik ini ke jurang kehancuran. Kesalahan ditutup-tutupi dengan kesalahan yang makin besar. Ini sekaligus upaya untuk membelokkan perhatian masyarakat atas skandal pelanggaran HAM berat yg telah dilakukan oleh aparat negara atas 6 laskar FPI pengawal HRS lebih tujuh bulan silam di KM50 tol Jakarta-Cikampek.

Saat Wamenkumham Omar Sharif mengumumkan Surat Keputusan Bersama sekian Menteri dan Kepala lembaga negara dalam rangka menghentikan FPI, saya membaca upaya memindahkan fokus perhatian publik dari kasus Al Capone di Chicago ke Dr. Zhivago di Moscow. Dari fakta kejahatan telanjang brutal nyata ke fiksi roman. Seperti sinyalemen Yudi Latief beberapa waktu lalu, apakah arus besar kedunguan sedang mentsunami Republik ini, sehingga para profesor rela mempertaruhkan kredibilitasnya untuk mengingkari amanat konstitusi ? Sesi pengumuman kemarin siang adalah bukti terbaru maladministrasi publik di mana hukum diciptakan dan ditafsirkan semena-mena untuk kepentingan penguasa, bukan untuk kepentingan publik.

Yang tahu plot licik ini adalah Munarman yang segera mendeklarasikan Front Persatuan Islam. Kini pun Munarman sudah ditahan atas tuduhan terorisme. Pada saat Facebook beranggotakan 2 milyar lebih followers, organisasi di era internet ini bekerja secara jejaring, dengan struktur yang pipih, horizontal, dengan hubungan antar simpul yang sukarela, lentur, dan dinamis. Yang mengikat anggota Front Persaudaraan Islam cuma satu : kesetiaan pada visi yang sama. Persetan dengan legal standing.

Jika tidak segera dicegah, Republik ini menunjukkan tanda-tanda berbahaya sedang meluncur jatuh ke jurang kekacauan sipil : penegakan hukum lumpuh karena aparat direstui elit penguasa (hasil Pemilu transaksional) untuk berselingkuh dengan para penggelap pajak, bandar judi, penjual narkoba dan minuman berakohol serta mucikari untuk merusak masyarakat. You name it. Sebagai refleksi historis, tokoh gangster yang menguasai kehidupan malam di Chicago pada 1930an yang terkenal ini adalah Alphonse Gabriel Capone yang sering disebut Al Capone.

Sebagian penguasa Federal yang masih waras akhirnya membentuk sebuah tim rahasia yang kemudian disebut the Untouchables yang dipimpin oleh Eliott Ness, seorang detektif bergelar sarjana ilmu politik dan administrasi bisnis, lalu mempelajari kriminologi. Tujuan Tim pimpinan Ness ini adalah memenjarakan Al Capone sekaligus membersihkan kepolisian Chicago dari abuse of power serta korupsi yang sangat parah.

Pada saat kemaksiatan makin marak di mana-mana, extra judicial killings terjadi dari waktu ke waktu, Gus Dur mungkin berseloroh saat mangatakan bahwa hanya ada tiga polisi jujur di Indonesia : patung polisi, polisi tidur dan Hoegeng. Mencermati perkembangan mutakhir aspek penegakan hukum di Republik ini, saya khawatir kita sedang berproses menjadi Chicago pada 1930an. Namun saya ragu apakah masih ada unsur birokrasi kita yang masih waras untuk menemukan seorang Eliott Ness untuk membentuk The Untouchables dan menghabisi Al Capone. Semoga keraguan itu tidak terbukti.

Pandemisasi Covid oleh WHO melalui medsos telah dimanfaatkan dengan licik oleh kaum sekuler kiri radikal penumpang gelap Republik dan para buzzer bayarannya sebagai weapon of mass deception. Dalam literatur, ini disebut propaganda sekaligus disinformasi. Jika dulu islam radikal yang dijadikan musuh fiktif, kini virus berukuran mikro yang dijadikan musuh. Propaganda ini nyaris berhasil menghilangkan jejak pembunuhan sadis di KM50 itu. Kedaruratan kesehatan dijadikan alasan untuk bersikap makin otoriter, memonopoli wacana, merampas kebebasan sipil, menutup rumah-rumah ibadah, sekaligus mengurangi mobilitas mahasiswa yang semakin kritis akhir-akhir ini. Pandemi ini telah menjadi algoritma pengubah fakta menjadi fiksi.

Rosyid College of Arts, 7/7/2021

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *