Polemik Sains: Polemik Lama Hidup Kembali
Judul Buku: Polemik Sains: Sebuah Diskursus Pemikiran
Penulis: Goenawan Mohamad, Nirwan Ahmad Arsuka, F. Budi Hardiman, dkk.
Penerbit: Ircisod
Penyunting: Zaim Rofiqi
Tahun Terbit: Feburuari 2021
Tebal:340 halaman
Peresensi: Kumara Adji Kusuma
KEMPALAN: Pandemi Covid-19 di Indonesia memberikan sebuah blessing in disguise. Dalam konteks ini adalah hidupnya kembali perdebatan, terlepas dari konteks ilmiah atau tidak, karena setiap orang menggunakan perseptktif masing-masing dalam menulis, tentang eksistensi sains dan pendirian sang penulisnya.
Hampir dua dekade lamanya, perdebatan intelektual mengenai tarik ulur sains yang berhadapan dengan berbagai bidang pengetahuan lainnya boleh dikata “mati suri.” Namun dengan adanya pandemi, didukung dengan media sosial yang terbuka, perdebatan mengenai hal tersebut hidup kembali dan direkam buku ini.
Berawal dari perselisihan antara sosok intelektual sastrawan Goenawan Mohamad dan A.S. Laksana. Geonawan Mohamad yang berada pada posisi kritis pada sains dalam sebuah diskusi yang ditayangkan di youtube dengan judul “berkhidmad pada sains.” Posisi Gownawan Mohamad kemudian “diserang” oleh A.S. Laksana dengan menyuguhkan fakta sains secara historis banyak membantu umat manusia. Serangan ini dilakukan secara tertulis dalam postingan via media sosial facebook.
Respon tersebut kemudian mendapat respon balik dari Goenawan Mohamad dan juga dari respon berbagai tokoh lainnya yang memberikan kontribusi pada perdebatan keduanya yang secara keseluruhan memberikan nuansa intelektual luar biasa.
Perdebatan tersebut sengit dan tergambarkan dalam buku berjudul Polemik Sains ini.
Saling bersahutan antara satu pemikir dengan pemikir lain, dan saling merespon satu sama lainnya. Mereka adalah serentetan para pesohor intelektual Indonesia. Selain penulis senior macam AS Laksana, Goenawan Mohamad, juga terdapat , Ulil Abshar Abdalla, dan F. Budi Hardiman, Satu Situmorang, Nirwan Ahmad Arsuka, dan banyak penulis lainnya membikin Facebook menjadi lebih segar dan berfaedah.
Mereka menulis status-status panjang yang berkisar pada tema sains, saintisme, hubungan sains dan agama, dan sebangsanya. Sejauh ini debat tersebut dilabeli pemirsa sebagai “Polemik Sains” dan menjadi judul buku yang diterbitkan Ircisod ini.
Yang cukup patut disanyangkan adalah beberapa penulis seperti A.S. Laksana, Hamid Basyaib, Lukas Luwarso yang tulisannya dalam perdebatan di atas tidak berkenan untuk diterbitkan bersama dalam tulisan dalam buku ini. Tentunya hal ini patut dihargai sebagai hak intelektual masing-masing. Meski demikian pembaca masih bisa melacaknya di media sosial di mana mereka telah memposting tulisannya.
Tapi sebenarnya dalam perdebatan tersebut, tidak ada yang baru secara substansial. Perdebatan melebar hingga bentangan argumentasi dari agama, teologi, spiritualisme, filsafat, seni, dan sains. Perdebatan ini adalah perdebatan lama yang memang tidak berujung. Masing-masing kemudian kembali pada posisi masing-masing. Tidak ada ada take and give, hanya sebuah parade argumen yang sedikit saling support dan saling serang ringan, dan banyak pertahanan diri, juga ada yang menengahi.
Dan itulah kelebihan buku ini, memberikan wawasan pencerahan tentang tema lama setua usia sains itu sendiri. Rentangan dari filsuf sains seperti Thomas S. Kuhn yang menemukan prinsip revolusi ilmiah dalam bentuk paradigm; Karl R. Popper tentang falsifikasi ilmiah, Imre Lakatos dengan protective belt, Paul Fayeraband tentang anarkisme epistemologi, dan sebagainya. Hingga filsuf Heidegger yang juga banyak dikutip oleh para tokoh dalam buku Polemik Sains ini.
Namun, dalam setiap buku memang tentu ada titik kebaruannya, dalam perdebatan mengenai eksistensi sains dalam hal ini adalah konteks yang menyertai perdebatan: pandemi Covid-19 di Indonesia. Penyelesaian pandemi Covid-19 secara sains ditanggapi dengan perspektif sains atau saintisme.
Sains memang menjadi polemik di Indonesia karena dalam konteks Indonesia, perdebatan mengenai sains ini tidak bisa dilepaskan dari tarik ulur sekulerisasi pengetahuan yang menjadi jantung perdebatan mengenai sains ini.
Perdebatan mengenai hal ini pun telah banyak diperbincangkan oleh pemikir lainnya yang tidak dikutip oleh para pemikir tersebut seperti Nurcholish Madjid, Abdurrahman Wahid, M. Amin Abdullah, Kuntowijoyo, dan pemikir-pemikir lainnya yang juga memberikan kontribusi tentang bagaimana mendamaikan antara agama dan sains.
Pada akhirnya memang kembali kepada pembaca. Apakah setuju dengan posisi sains yang berhadap-hadapan dengan agama, seni, dan filsafat. Atau memadukan secara keseluruhan dengan mengintegrasikan dalam satu kesatuan yang saling sinergis satu sama lain. Atau memiliki pandangan dan pendirian tersendiri yang terlepas dari posisi seluruh pemikir dalam buku ini.
(Peresensi adalah Redaktur kempalan.com, dan dosen Universitas Muhammadiyah Sidoarjo)
