Kesalahan Strategi Ole jadi Penyebab Kekalahan MU di Final Europa

waktu baca 4 menit
Manajer MU, Ole Gunnar Solskjaer dalam pertandingan MU vs Villarreal di Gdansk.

GDANSK-KEMPALAN: David de Gea mungkin akan menanggung beban kritik karena kekalahan MU, tidak hanya karena penaltinya yang gagal, tetapi juga karena kiper asal Spanyol itu tak bisa menepis satupun tembakan dari 11 kesempatan penalti Villarreal.

Namun, setelah kemarahan mereda, sorotan akan beralih dari penjaga gawang ke sang manajer, Ole Gunnar Solskjaer

Ole, yang banyak berbicara bahwa final ini akan menjadi ‘batu loncatan’ untuk ‘sesuatu yang lebih baik’ bagi MU, malah melewatkan kesempatan emas untuk mengakhiri puasa gelar Si Setan Merah.

Namun, meski begitu Ole memang tidak dapat dipungkiri telah memberikan banyak kemajuan untuk Manchester United. Posisi liga setan merah meningkat pada setiap musimnya di masa jabatannya. Para pemain muda juga telah banyak berkembang di bawah manajemennya.

Namun, Ole harusnya sangat sadar bahwa pekerjaan ini tidak hanya menuntut perkembangan saja, namun juga gelar juara.

Mencapai final pertama terasa seperti momen penting baginya setelah empat kekalahan semifinal berturut-turut. Namun, akhir cerita di Gdansk menggali kembali pertanyaan lama yang sama. Masih mampukah Ole memimpin United?

Jika berbicara soal mental tim, Ole terbilang cukup berhasil. Manchester United, yang lesu sebelum jeda, tiba-tiba muncul kembali dengan semangat juang yang luar biasa di babak kedua. Hasilnya, anak asuh Ole berhasil mencetak gol lewat sepakan Cavani di menit ke-55 babak kedua.

Namun, apakah semangat juang saja bisa membawa sebuah tim meraih gelar juara? Semangat juang United memang luar biasa, namun pola permainan mereka berantakan.

Jarang sekali Villarreal benar-benar diuji dan dengan peluang berbahaya bahkan hingga menit akhir perpanjangan waktu, Manchester United tampak lebih seperti tim yang mencoba membawa permainan ke adu penalti.

Mereka juga tidak efektif di babak pertama. Solskjaer telah mengatur mereka untuk menyerang dengan mengorbankan Fred untuk mengakomodasi penyerang ekstra dengan Paul Pogba turun kembali ke lini tengah.

“Kami mulai dengan banyak pencetak gol (striker), dan berharap itu akan memberi kami keunggulan.” kata Solskjaer sesudahnya.

United sebenarnya menekan secara efektif pada waktu-waktu tertentu, dengan Cavani sebagai pemimpin, tetapi striker asal Uruguay itu kesulitan menemukan ruang tembak dan memiliki lebih sedikit sentuhan daripada pemain lainnya pada babak pertama.

Selain itu, Ada sedikit kohesi dalam permainan menyerang MU, hanya harapan samar bahwa kualitas individu para pemain lah yang akan memberi United momen untuk mencetak gol.

Momen-momen itu biasanya datang dari Bruno Fernandes, tetapi Villarreal menahannya dengan luar biasa, menutup ruang di sekitarnya, mematikan jalur suplai dan meninggalkannya tanpa ruang untuk bekerja.

Pada akhirnya, ia gagal mencatatkan tembakan tepat sasaran atau menciptakan satupun peluang dalam 120 menit waktu pertandingan.

Solskjaer tidak punya jawaban untuk permasalahan ini dan juga ada kelemahan defensif yang familiar juga di MU.

Cederanya Harry Maguire tentu saja sangat berpengaruh. Namun, masalah antisipasi bola mati lah yang menjadi momok utama Manchester United dan ini terbukti dari gol pembuka Villarreal.

Keterlambatan Ole dalam mengambil keputusan juga menjadi permasalahan. Unai Emery telah membuat lima perubahan pada saat Solskjaer baru melakukan yang pertama. Tak heran, kemudian, Villarreal lebih baik dalam beradaptasi dengan permainan.

Solskjaer baru melakukan banyak perubahan di lima menit terakhir perpanjangan waktu, di mana saat itu para pemainnya sudah kelelahan dan hanya ada sedikit waktu bagi siapa pun yang baru masuk ke pertandingan untuk membuat dampak yang berarti.

Solskjaer mungkin menunjukkan kurangnya kedalaman, tetapi tugasnya adalah untuk mendapatkan yang terbaik dari para pemain yang dia miliki, terutama pada Donny van de Beek dan Amad Diallo, dia memiliki talenta menyerang senilai £ 70 juta sebagai cadangan. Tidak ada pemain yang dapat memberi solusi di lini depan, bahkan setelah Rashford terjepit.

Keputusan untuk memindahkan Pogba dari sisi kiri serangan ke lini tengah memang cukup berhasil di menit awal, tapi menjadi kacau di menit-menit akhir laga.

Pemain asal Prancis itu baru bermain di lini tengah pada dua pertandingan sejak Januari dan yang terakhir adalah saat MU kalah 3-2 dari Roma di Stadio Olimpico.

Penampilan Pogba melawan Villarreal tidak seburuk itu, tetapi ia hanya menawarkan sedikit kreativitas atau ancaman gol dan distribusi bolanya juga tidak merata. McTominay memberikan energi dan dorongan di sampingnya, tetapi mereka adalah mitra yang tidak cocok dan itu sangat terlihat.

Para pemain akan bertanya pada diri sendiri apakah mereka bisa berbuat lebih banyak, tetapi Solskjaer yang harus memikul tanggung jawab itu. Dia adalah pahlawan Manchester United di Barcelona 22 tahun lalu, tetapi kekalahan ini memperpanjang penantian trofi pertamanya sebagai manajer mereka. Prestasi yang terasa dekat kini terasa jauh seperti sebelumnya. (SkySports, Edwin Fatahuddin)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *