Indonesia Tanpa KPK
KEMPALAN: Bagaimana membayangkan dunia tanpa Islam, apakah akan lebih damai atau tambah hancur? Pertanyaan rumit itu sudah dijawab oleh Graham E. Fuller analis politik Islam global dari Amerika Serikat melalui buku “The World without Islam” (2016).
Fuller menjelentrehkan dengan tuntas apakah dunia akan lebih damai dan menjadi tempat yang lebih baik kalau seandainya tidak ada agama Islam yang diturunkan ke dunia pada abad ke-7.
Umumnya orang di Barat pasti akan menjawab tentu dunia akan lebih baik tanpa Islam. Jawaban yang sama pasti diberikan oleh orang-orang di Indonesia yang serampangan dalam membaca bukti-bukti sejarah.
Pandangan umum di Barat adalah bahwa tanpa Islam pasti tidak terjadi Perang Salib, konflik Israel-Palestina, aksi bom bunuh diri, dan Peristiwa pengeboman WTC New York 11 September 2001. Sampai sekarang kekacauan yang terjadi di Timur Tengah dan kerusuhan terbaru di Jerusalem dikaitkan dengan Islam.
Tapi, Fuller punya pandangan yang bertolak belakang. Ia mengajukan sebuah eksperimen berpikir untuk menguji pandangan itu. Dengan analisis historis yang sangat detail dan kaya data, Fuller menyusun sebuah skenario alternatif jika seandainya Islam tidak pernah ada dan memengaruhi jalannya sejarah.
Kesimpulan yang diberikan Fuller berbalik 180 derajat dengan pandangan umum di Barat. Menurut analisis Fuller tanpa Perang Salib pun Barat tetap akan menyerbu Timur Tengah karena nafsu imperialisnya. Gereja Ortodoks akan mendominasi Timur Tengah dan mungkin sampai hari ini tetap berkonflik dengan Gereja Roma dan Dunia Barat.
Mengenai terorisme dan banyaknya serangan bom syahid atau bom bunuh diri oleh aktivis Islam, Fuller mengatakan bahwa sebelum ada aktivis Islam yang melakukannya sudah banyak aksi serupa yang dilakukan kalangan nasional seperti yang dilakukan oleh aktivis Macan Tamil yang memperjuangkan kemerdekaan dari Sri Lanka.
Aksi-aksi kekerasan yang terjadi di Timur Tengah yang kemudian merantak menjadi serangan-serangan teror di Eropa dan Amerika tidak semuanya sepenuhnya dilakukan karena sebab agama, tapi lebih banyak berakar dari pertimbangan kekecewaan sebagai bangsa. Kekecewaan terhadap dominasi Barat itu kemudian memunculkan perlawanan yang menjadi militan karena keyakinan agama yang menjanjikan surga bagi yang mati syahid.
Bagaimana dengan Indonesia, apa yang terjadi dengan Indonesia tanpa Islam? Belum ada studi komprehensif untuk menjawab pertanyaan ini. Tapi ada beberapa perkembangan terakhir yang membuat orang bertanya apa peran Islam di Indonesia.
Fenomena penangkapan Bupati Nganjuk Novi Rahman Hidayat oleh KPK menimbulkan pertanyaan mengapa seorang bupati yang berasal dari keluarga kaya, terpelajar, santri, dan hafal Alqur’an bisa terpeleset melakukan korupsi. Beberapa kasus kepala daerah yang terlibat korupsi di Jawa Timur juga melibatkan orang-orang dengan latar belakang Islam yang kuat.
Mantan walikota Mojokerto Mas’ud Yunus yang ditangkap KPK dan dihukum 3,5 tahun pada 2018 adalah seorang ulama terkenal sebelum menjadi walikota. Mantan bupati Bangkalan Fuad Amin Imron yang divonis 13 tahun penjara pada 2017 adalah cucu ulama besar di Jawa Timur. Fuad meninggal di penjara pada 2019.
Tentu kasus ini bukan hanya terjadi di Jawa Timur. Di beberapa daerah lainnya juga banyak kasus serupa.
Almarhum Bung Hatta menyebut korupsi sudah menjadi budaya di Indonesia. Penyebab korupsi bukan karena agama tapi lebih banyak faktor budaya.
Bung Hatta menuai protes karena pandangan itu. Budaya harusnya berasosiasi dengan hal-hal positif. Misalnya, pertanian adalah budaya karena melibatkan kebiasaan masyarakat mengolah tanah, bercocok tanam, dan menghasilkan produk yang bermanfaat.
Yang dimaksud oleh Bung Hatta adalah budaya Indonesia menunjang suburnya korupsi, terutama budaya feodal warisan zaman kerajaan yang kemudian makin disuburkan oleh penjajah Belanda. Seorang pejabat harus bersifat benevolent, loman, dermawan kepada teman, sahabat, kerabat, dan handai tolan. Ia harus menolong dan membantu memberi pekerjaan dan menolong orang sekitar dan banyak menyumbang kegiatan sosial dan keagamaan. Karena itu setiap ada pejabat yang dicokok karena korupsi, tetangga-tetangga yang diwawancarai media selalu mengatakan bahwa sang koruptor orang baik nan dermawan.
Karena sudah menjadi budaya maka pelaku korupsi bisa datang dari kalangan mana saja baik dia santri maupun abangan.
Karena itu pertanyaan hipotesis yang lebih menggoda adalah apa jadinya Indonesia tanpa KPK?
Saat ini perdebatan tengah ramai mengenai pelemahan KPK yang ditandai dengan pemberhentian dari tugas yang menimpa 75 orang penyidik KPK yang tidak lulus tes wawasan kebangsaan. Di antara penyidik yang dibebastugaskan itu ada Novel Baswedan dan Harun Alrasyid. Nama terakhir ini yang memimpin OTT terhadap bupati Nganjuk.
Almarhum Adam Malik memopulerkan istilah “Semua Bisa Diatur” yang sampai sekarang masih dikutip oleh semua orang dan menjadi frasa yang khas dalam khazanah Bahasa Indonesia. Adam Malik yang berlatar belakang wartawan adalah menteri luar negeri legend yang sangat piawai dalam diplomasi luar negeri meskipun tidak pernah mendapatkan pendidikan formal diplomasi. Ketika wartawan asing menanyakan terjemahan Inggris dari kalimat “Semua Bisa Diatur” Adam Malik menjawab sambil tersenyum lebar “All are Aturable”.
Tentu saja Adam Malik yang fasih berbahasa Inggris dan lancar beberapa bahasa Eropa tahu terjemahan leterlijk frasa itu. Tapi penerjemahan harfiah tidak akan tepat menggambarkan konteks kalimat itu. “All are Managable” bukan terjemahan tepat, makanya Malik menyebutkan “All are Aturable”. Yang dimaksud mengatur bukan me-manage. Mengatur punya makna konotatif menyiasati atau malah mengakali dan membohongi aturan. Laws are made to be broken, aturan dibuat untuk dilanggar. Begitu kata pepatah Inggris. Aturan hukum memang ada, tapi aturan itu bisa diatur lagi supaya lebih teratur.
meminta mahar yang mahal untuk membayar tiket pencalonan. Biaya semakin mahal karena ada operasi vote buying, jual beli suara, dan money politics, politik uang yang dioperasikan oleh tim sukses.
Di zaman Pak Harto korupsi pasti banyak, tapi “aturable”, bisa diatur karena dilakukan terpusat yang kemudian didistribusikan merata kebawah dan kesamping. Kepala daerah ada jatah sendiri, jenderal-jenderal punya jatah sendiri, dan para menteri punya jatah masing-masing. Siapa yang ikut aturan akan aman dan sejahtera, siapa yang main sendirian melebihi jatahnya pasti akan diberangus. Ibnu Sutowo yang mengorupsi uang Pertamina dan Bedu Amang yang mengorupsi duit Bulog ditangkap karena main tidak sesuai aturan.
Di zaman reformasi dua puluh tahun terakhir korupsi menjadi ambyar menyebar rata ke seluruh daerah. Seiring dengan terjadinya desentralisasi kekuasaan maka korupsi terdesentralisasi. Otonomi daerah menjadikan para penguasa daerah seperti raja-raja kecil yang nyaris mutlak menguasai anggaran daerah. Kalau seseorang memegang kekuasaan mutlak maka ia juga bisa melakukan korupsi mutlak. Kekuasaan cenderung korup dan kekuasaan yang mutlak akan melakukan korupsi mutlak juga. Begitu kata Lord Acton.
Raja-raja kecil itu naik ke kekuasaan itu melalui pemilihan kepala daerah langsung. Pada saat itulah mereka bersaing dengan segala cara kotor termasuk jual beli suara, vote buying, dan politik uang, money politics.
Salah satu sumber dana yang paling banyak tersedia untuk membiayai operasi politik ini adalah para bandar politik yang bisa dimintai dana dengan imbalan proyek.
Jual beli demokrasi ini disorot oleh Edward Aspinall dan Ward Berenschot dalam “Democracy for Sale: Elections, Clientelism, and State in Indonesia” (2019). Biaya politik menjadi sangat mahal karena partai politik meminta mahar yang mahal untuk membayar tiket pencalonan. Biaya semakin mahal karena ada operasi vote buying, jual beli suara, dan money politics, politik uang yang dioperasikan oleh tim sukses yang biasanya menagih imbalan setelah calonnya sukses.
Praktik klientelisme seperti ini menjadi praktik standar yang berlaku di seluruh Indonesia. Mahfud MD menyebut 92 persen pilkada di Indonesia dibandari cukong. Setelah jagonya menang sang cukong minta imbalan proyek.
Inilah yang menyebabkan terjadinya korupsi kebijakan dengan menggadaikan proyek-proyek pemerintah kepada cukong.
Bayar modal kepada para cukong dan balas budi kepada tim sukses inilah yang menjerat para kepala daerah di Jawa Timur yang dicokok KPK.
Budaya politik mata duitan ini baru tumbuh sejak reformasi tapi cepat menyebar seperti kanker karena sesuai dengan budaya korup yang sudah lama hidup di kalangan masyarakat Indonesia, sebagaimana ditengarai Bung Hatta.
Membayangkan Indonesia tanpa KPK tidak akan terlalu sulit. Para aktivis anti korupsi tentu punya gambaran suram. Tapi para koruptor pasti membayangkan sebuah surga di dunia dimana mereka bisa berpesta pora menggarong uang rakyat tanpa perlu takut OTT (operasi tangkap tangan) lagi. (*)