Mudik, Pandemi, dan Korupsi

waktu baca 6 menit
Muhadjir Effendy, Menko PMK ketika larang mudik lebaran 2021/situs Kemenko PMK.

KEMPALAN: Mudik resmi dilarang. Lebaran tahun ini tidak akan ada gegap gempita mudik. Ibarat pertandingan sepakbola, lebaran tanpa mudik, mungkin seperti pertandingan tanpa penonton. Harusnya penuh emosi, kegembiraan, kebahagiaan, suka cita, yel yel, atribut warna-warni, aneka makanan dan jajanan, tapi jadinya sepi dan kosong. Ada gol, ada kemenangan, tapi tidak ada selebrasi gegap gempita yang menjadi bagian tak terpisahkan dari ritual ini.

Pulang kampung, nyekar ke makam leluhur, halal bihalal, pakaian baru, makan ketupat dan opor ayam, saling maaf memaafkan, bagi-bagi uang untuk sanak saudara.

Mudik bukan cuma peristiwa budaya, ia peristiwa kehidupan yang total, ia panggung selebrasi kecil untuk merayakan kemenangan sederhana setelah selama setahun penuh banting tulang melawan kekalahan.

Mudik itu fenomema khas Indonesia, perpaduan antara even agama dengan perhelatan budaya, yang menghasilkan sintesa budaya yang unik yang sudah berjalan turun temurun selama puluhan tahun. Ketika masyarakat masih hidup pada era pertanian pada 1960-an praktik mudik tentu tidak sedahsyat sekarang. Ketika belum ada urbanisasi, ketika belum ada industrialisasi, ketika ekonomi masih subsistens, maka belum ada ritual mudik nasional seperti sekarang. Baru pada sekitar 1970-an budaya mudik ini menjadi tradisi budaya masal dan kolosal.

Mudik menjadi panggung kecil untuk pamer sukses di kampung. Pakaian baru dan motor baru jadi atribut yang menjadi lambang sukses. Banyak yang mengutang untuk kredit motor baru. Untuk pamer gengsi rela mengutang besar untuk kredit mobil buat pameran di kampung. Perkara nanti tidak bisa bayar cicilan dan ditarik lagi oleh dealer, itu urusan belakang.

Cari ceperan untuk bagi-bagi di kampung sudah menjadi ritual standar. Budayawan almarhum Umar Kayam mengatakan bahwa ritual mudik bukan cuma membawa berkah tapi membawa bencana. Bukan cuma transfer kemakmuran dari kota ke desa, tapi juga bisa menyuburkan budaya korupsi.

Orang desa yang merantau ke kota dan bekerja sebagai pegawai negeri dianggap sebagai orang sukses, apalagi kalau sudah jadi pejabat. Setiap Lebaran ia mudik lalu mengumpulkan sanak saudara sekampung dan bagi-bagi uang dan berbagai macam oleh-oleh. Inilah salah satu sumber korupsi. Gaya hidup warisan feodal ini membuat pejabat itu harus jaim, jaga imej, dengan bersikap loman (generous) dan baik hati (benevolent) terhadap sanak keluarga sekampung. Dengan begitu ia dianggap sukses dan baik hati.

Tapi, kalau dia sudah jadi pejabat, tapi tetap miskin karena jujur, dan tidak bisa membantu memberi pekerjaan kepada keluarga, maka ia tidak dianggap sukses, malah dianggap sombong dan pelit.

Sejarawan Ong Hok Ham juga menyoroti faktor budaya sebagai sumber korupsi. Seorang pejabat di masa feodal dianggap berwibawa dari penampilannya yang gemerlap, tunggangannya yang gagah dan mahal, serta prajurit bregada pengawal yang jumlahnya banyak. Pejabat masa kini pamer wibawa dengan membawa pulang kampung mobil sedan dinas dan mengajak serta sopir kantor, ajudan, dan sekretaris pribadi. Sering juga satpam kantor dibawa mudik untuk jadi bodyguard.

Wartawan senior Mochtar Lubis yang menyunting buku tipis bersama James Scott “Bunga Rampai Korupsi” (1995) menyoroti faktor sosiologis penyebab korupsi. Banyak pejabat yang memperlakukan properti kantor sebagai properti pribadi. Ia mengelola uang negara seperti uang pribadi. Selama ia tidak bisa membedakan harta negara dengan harta pribadi, maka korupsi akan terus terjadi.

Tentu tidak bisa menyalahkan mudik sebagai sumber korupsi. Ini hanya contoh bagaimana budaya bisa menjadi penyebab korupsi. Bukan budayanya yang harus dihentikan tapi korupsinya yang kudu diberantas.

Mudik bukan budaya Indonesia saja. Di seluruh dunia ada budaya mudik juga.

Kepadatan jalan saat mudik.

Di negara maju seperti Amerika budaya mudik masih tetap ada sampai sekarang dan menjadi ritual nasional yang besar. Setiap tahun pada Kamis keempat bulan November orang Amerika merayakan hari bersyukur “Thanksgiving Day”, jutaan orang mudik ke kampung halamannya untuk berkumpul dengan keluarga dan makan malam dengan menu khas daging kalkun.

Secara etimologis mudik berarti pulang ke kampung halaman. Dalam bahasa Inggris disebut “homecoming”, suatu perjalanan pulang ke kampung halaman dalam kurun waktu tertentu untuk bertemu dengan keluarga dan sanak saudara di kampung halaman.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia mudik disinonimkan dengan  pulang kampung,  kegiatan perantau atau pekerja migran untuk pulang ke kampung halamannya. Istilah ini diserap dari Bahasa Betawi, udik, yang bermakna kampung atau desa. Pada mulanya ada konotasi yang agak pejoratif dalam istilah ini. Seseorang yang disebut udik berarti dianggap kampungan atau tidak modern karena berasal dari desa dan tidak paham budaya kota. Kemudian muncul kata turunan “mudik” yang berarti “mengudik” atau melakukan perjalanan ke udik.

Ada juga yang memelesetkan kata mudik dengan “mulih disik” atau dalam bahasa Indonesia “pulang dulu”.
Seiring dengan gencarnya industrialisasi dan urbanisasi, penyebutan istilah udik jarang dipakai. Konotasi pejoratif yang merendahkan mudik pun berangsur hilang,  para pejabat tinggi dan eksekutif perusahaan besar, serta para sosialita dan selebritas tidak malu ikut-ikutan mudik. Tentu ini mudik elite yang beda dengan mudik rakyat yang masal dan kolosal. Tapi implikasi budayanya sama saja.

Ada juga yang memelesetkan kata mudik dengan “mulih disik” atau dalam bahasa Indonesia “pulang dulu”.

Tukul Arwana memopulerkan istilah katrok untuk menyebut kampungan. Katrok bukan diambil dari istilah Betawi tapi dari bahasa Jawa-tengahan yang jarang dipakai oleh orang Jawa di belahan timur. Tapi gegara Tukul, katrok populer di seluruh Indonesia. KKBI pun memasukkan katrok sebagi entry dan diartikan persamaan dari sifat orang desa yang tidak tahu tren masa kini sehingga dapat dikatakan ketinggalan zaman, lugu, belum berpengalaman.

Tukul Arwana.

Tradisi mudik sudah berjalan sejak zaman kerajaan Majapahit. Pada zaman dahulu para perantau pulang ke kampung halaman untuk membersihkan makam para leluhurnya. Wilayah Majapahit yang membentang ke seluruh Nusantara membuat banyak pejabat pusat yang ditugaskan mewakili raja untuk menjadi pejabat tinggi di sebuah wilayah yang jauh. Pada waktu-waktu tertentu mereka ditimbali oleh raja untuk seba menghadap ke Majapahit. Pada saat tertentu ada upacara dan perayaan tahunan kerajaan yang dihadiri oleh para petinggi daerah. Pada saat itulah mereka mudik pulang kampung. Tradisi nyekar ke makam orang tua atau leluhur adalah tradisi Hindu yang masih banyak dipraktikkan sampai sekarang. Dalam tradisi Islam nyekar diadopsi menjadi ziarah kubur.

Kemudian sekitar tahun 1970-an baru berkembang istilah mudik di Indonesia. Ketika itu Jakarta menjadi satu-satunya kota di Indonesia yang dianggap paling maju dari kota lainnya di Indonesia. Sehingga banyak sekali orang-orang desa yang merantau ke Jakarta, setelah itu lahirlah istilah mudik yang fenomenal sampai sekarang.

Media massa kemudian membranding ritual mudik dan lebaran menjadi ritual modern yang menjadi bagian dari budaya populer atau pop culture. Acara-acara televisi, pertunjukan musik, tari, nyanyi, dan seni beraneka ragam ditampilkan selama berhari-hari. Mudik yang sebelumnya berkonotasi ndeso disulap menjadi budaya pop yang modern yang melibatkan kapitalisasi uang yang besar. Mudik lebaran pun menjadi cermin kapitalisme dan budaya pop yang menghasilkan putaran kapital yang sangat besar. Seorang ekonom mencatat kenaikan omset ritel sampai 40 persen. Penjualan pakaian, makanan, transportasi, hiburan, dan semua sektor dagang bergerak karena efek multiplier yang berlipat-lipat. Jumlah uang yang ditransfer dari kota ke desa lebih dari Rp 300 triliun.

Di tengah kondisi ekonomi yang seret karena resesi jumlah itu menggiurkan. Tapi kali ini pemerintah harus ikhlas kehilangan ratusan triliun itu karena ancaman pandemi Covid 19 yang masih sangat mengerikan. Gelombang mudik jutaan orang dari kota ke desa akan membawa gelombang klaster penularan baru di pedesaan.

Lebaran tanpa mudik jadi sedih dan sepi. Tapi, seperti biasa, kita ambil hikmahnya saja. Siapa tahu, tanpa mudik pandemi bisa berhenti, dan korupsi bisa berhenti, atau paling tidak, berkurang. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *